Teknologi

El Nino Dahsyat 250 Juta Tahun Lalu Picu Kepunahan Massal di Bumi

Ilmuwan telah mengungkap temuan yang mengejutkan terkait penyebab salah satu peristiwa kepunahan massal terbesar dalam sejarah Bumi yang terjadi sekitar 250 juta tahun lalu, yang dikenal dengan peristiwa kepunahan akhir Permian. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh fenomena El Niño yang sangat dahsyat memicu kematian sekitar 90% spesies di planet ini, sebuah skenario yang sangat mengkhawatirkan ketika mempertimbangkan dampak aktivitas manusia terhadap iklim saat ini.

Pada periode Permian, yang berlangsung dari 298,9 juta hingga 251,9 juta tahun lalu, kehidupan di Bumi berada dalam keadaan yang sangat beragam dan produktif. Benua super Pangaea, yang dikelilingi oleh hutan lebat, menjadi tempat tinggal bagi berbagai spesies, termasuk reptil, amfibi, dan berbagai serangga. Di lautan, terumbu karang yang menjulang tinggi menjadi habitat bagi berbagai makhluk laut, termasuk ikan bertulang keras dan hiu. Namun, keadaan ini mulai berubah dengan adanya letusan gunung berapi raksasa di Siberia yang dikenal sebagai Perangkap Siberia.

Letusan ini tidak hanya melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer tetapi juga menguapkan lapisan batu bara. Para ilmuwan percaya bahwa dampak dari letusan ini telah terdeteksi pada lapisan batuan yang jauh dari lokasi letusan, bahkan hingga ke Afrika Selatan. Penelitian yang dilakukan oleh Yadong Sun dan timnya di China University of Geosciences memfokuskan pada gigi hewan mirip belut yang dikenal sebagai conodont, yang memberikan informasi mengenai suhu lautan pada masa itu.

Hasil penelitian menunjukkan perubahan suhu yang signifikan di lautan kuno, Panthalassa, di mana perbandingan suhu antara bagian barat dan timur tidak stabil. Seiring dengan meningkatnya konsentrasi karbon dioksida, perbedaan suhu ini semakin berkurang, mirip dengan pola yang terjadi pada fenomena El Niño modern. Siklus El Niño yang panjang dan intens terjadi pada akhir periode Permian, yang berdampak pada suhu yang sudah meningkat akibat pemanasan global.

Kondisi tersebut menghadirkan ancaman besar bagi ekosistem daratan dan laut. Hutan dan spesies yang bergantung pada hutan mulai menghilang dan mengalami kesulitan. Hutan berfungsi sebagai penyangga karbon dioksida, sehingga ketika mereka hilang, lebih banyak karbon dioksida terperangkap di atmosfer, menciptakan umpan balik positif yang memperburuk kondisi iklim. Suhu Panthalassa mencapai angka yang sangat ekstrem, hingga 40 derajat Celsius di daerah tropis, melampaui batas toleransi banyak organisme laut.

Menurut peneliti lain, Peter Ward, ahli paleontologi dari Universitas Washington, implikasi dari temuan ini sangat mencemaskan. Ia mencatat bahwa perangkap Siberia mungkin telah melepaskan lebih banyak karbon dioksida ke atmosfer dibandingkan dengan total emisi manusia saat ini. Sementara saat ini, konsentrasi karbon dioksida di atmosfer berada pada angka sekitar 419 bagian per juta (ppm), selama peristiwa Permian, jumlah tersebut diperkirakan mencapai sekitar 2.500 ppm.

Kekhawatiran tidak terbatas pada masa lalu, tetapi juga mencerminkan diskriminasi yang bisa terjadi di masa kini akibat pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Seperti yang diungkapkan Ward, "peradaban kita membutuhkan stabilitas, dan kita menciptakan ketidakstabilan besar dalam sistem Bumi." Dengan demikian, penemuan baru ini tidak hanya memberikan wawasan lebih dalam mengenai kepunahan massal di masa lalu tetapi juga memberi peringatan krusial tentang arah yang diambil umat manusia saat ini.

Melalui penelitian ini, ilmuwan berusaha untuk memprediksi konsekuensi dari perubahan iklim yang cepat dan mendesak, yang dapat berdampak pada ketahanan ekosistem, ketersediaan sumber daya alam, serta keselamatan manusia. Dalam konteks ini, pengetahuan mengenai fenomena El Niño dan bagaimana kondisi serupa pernah menyebabkan kepunahan massal menjadi semakin relevan. Upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi langkah yang semakin mendesak untuk menjaga stabilitas lingkungan di masa depan.

Oleh karena itu, hasil studi yang dirilis di jurnal Science ini pun menjadi pembuktian bahwa kondisi Bumi di masa lalu bisa memberikan pelajaran berharga untuk menangani tantangan iklim yang sedang dihadapi saat ini. Sejarah Bumi bukan hanya sekadar catatan; ia menawarkan wawasan untuk memahami dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan yang ada di depan, memanfaatkan pengalaman dari masa lalu untuk memastikan kelangsungan hidup di masa mendatang.

Menarik untuk diperhatikan bahwa penelitian ini memberikan gambaran lebih luas mengenai interaksi antara aktivitas geologis, perubahan iklim, dan dampaknya terhadap kehidupan di Bumi. Hal ini menciptakan hubungan kompleks antara faktor alam dan kehidupan, yang patut dipikirkan kembali dalam konteks perubahan iklim saat ini. Keseimbangan ekosistem adalah hal yang harus dijaga, baik untuk lingkungan maupun untuk keberlangsungan spesies yang ada, termasuk manusia.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button