Menteri Desa dan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, baru-baru ini menuai kontroversi setelah menggelar acara Haul (peringatan hari wafat) ke-2 ibunya di Pondok Pesantren BAI Mahdi Sholeh Ma’mun, Serang. Insiden ini menarik perhatian publik terutama setelah Yandri mengundang kepala desa dan sejumlah pejabat menggunakan kop surat resmi kementerian. Tindakan tersebut dianggap rawan bermuatan politis, mengingat posisi istri Yandri, Ratu Zakiyah, sebagai calon Bupati Serang.
Perwakilan dari Tim Advokasi Masyarakat Pendukung Demokrasi, Riki, dalam pernyataannya pada Selasa, 22 Oktober 2024, menegaskan bahwa penggunaan kop surat kementerian untuk acara pribadi ini seharusnya menjadi perhatian serius. "Saya berharap Bawaslu Kabupaten Serang dapat menghentikan atau setidak-tidaknya mengawasi kegiatan tersebut," ujarnya. Riki juga menyoroti bagaimana undangan tersebut melibatkan tidak hanya kepala desa, tetapi juga sekretaris desa, ketua RT/RW, serta kader PKK dan Posyandu di wilayah Kramat Watu.
Acara Haul yang diadakan Yandri juga bertepatan dengan syukuran Hari Santri, menciptakan ruang bagi dugaan adanya penggabungan agenda pribadi dengan acara publik. Situasi ini memunculkan pertanyaan mengenai batas antara kepentingan taktis dan penggunaan sumber daya publik oleh pejabat pemerintahan.
Tidak lama setelah acara tersebut, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, memberikan teguran keras lewat akun Instagramnya. Mahfud menilai tindakan Yandri sebagai pelanggaran serius etika birokrasi. Ia menyatakan, "Masih sangat pagi di hari ini, ketika seorang teman memberitahu kepada saya bahwa ada seorang Menteri baru yang mengundang acara Haul ibunya yang kedua sekaligus syukuran di Ponpes menggunakan surat dengan kop dan stempel resmi kementerian." Mahfud menekankan bahwa penggunaan simbol pemerintahan untuk kepentingan pribadi adalah hal yang tidak dapat diterima.
Lebih lanjut, Mahfud menegaskan, "Kalau benar ada surat itu maka hal tersebut salah. Kop surat dan stempel resmi tak boleh dipakai untuk acara pribadi dan keluarga, termasuk ponpes dan ormas sekalipun." Ini menunjukkan bahwa tindakan Yandri dapat dianggap merusak integritas penggunaan atribut lembaga pemerintah.
Pentadbir kementerian seharusnya sepenuhnya menyadari konsekuensi dari tindakan mereka, terutama dalam konteks hubungan antara kepentingan publik dan pribadi. Teguran Mahfud mencerminkan perlunya kesadaran dan kepatuhan terhadap kode etik yang mengatur perilaku pejabat publik di Indonesia. Penggunaan sumber daya dan simbol negara harus semata-mata untuk kepentingan masyarakat, bukan untuk kepentingan pribadi atau keluarga.
Yandri Susanto dilantik sebagai menteri pada 21 Oktober 2024 oleh Presiden Prabowo Subianto. Anehnya, pada hari yang sama, ia sudah menggunakan kop surat kementerian untuk kepentingan pribadinya, yang terkesan lebih mementingkan kepentingan keluarga dibandingkan melayani publik. Ini menjadi sebuah potret bahwa terjadi pembauran antara fungsi publik dengan urusan pribadi, yang pasti akan memengaruhi persepsi masyarakat terhadap integritas pejabat publik.
Kasus ini akan diperhatikan secara seksama oleh Bawaslu Kabupaten Serang, yang akan menentukan apakah tindakan Yandri melanggar aturan yang ada atau tidak. Insiden ini juga menjadi bahan diskusi di kalangan pengamat dan praktisi politik, yang merasa bahwa penggunaan kekuasaan dan otoritas publik harus dikendalikan dengan ketat untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Reaksi publik atas kejadian ini pun cukup beragam. Sebagian netizen mengecam tindakan Yandri, menyebutnya sebagai contoh perilaku elit yang tidak sensitif terhadap posisi mereka sebagai pejabat publik. Di sisi lain, ada juga pendukung yang berargumen bahwa acara tersebut merupakan haknya sebagai individu untuk mengenang orang tuanya. Namun, banyak yang sepakat bahwa penggunaan atribut resmi kementerian untuk keperluan pribadi seharusnya dihindari untuk menjaga jarak antara privasi dan kewajiban publik.
Dalam konteks politik yang semakin ketat seperti sekarang, kewaspadaan dan transparansi menjadi sangat penting. Kejadian ini bukan hanya soal investigasi terhadap Yandri, tetapi juga berimplikasi lebih luas terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintah. Jika pejabat publik tidak konsisten dalam memisahkan antara urusan pribadi dan tanggung jawab mereka terhadap masyarakat, maka tentu akan ada dampak signifikan terhadap integritas institusi pemerintahan itu sendiri.
Yandri dan pihak terkait diharapkan dapat memberikan penjelasan yang jelas mengenai tindakan tersebut. Publik layak mendapatkan informasi yang memadai untuk menilai apakah pejabat yang mereka pilih benar-benar menjalankan tugasnya dengan baik dan berdedikasi untuk kepentingan masyarakat.
Situasi ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terlebih dalam merumuskan langkah-langkah ke depan untuk memastikan bahwa etika dan integritas selalu diutamakan dalam setiap tindakan pejabat publik di Indonesia. Acara yang seharusnya bersifat peringatan dan penghormatan ini berpotensi menjadi pemandangan yang memicu perdebatan panjang tentang batasan dalam penggunaan kekuasaan publik.