Pendidikan

Undip: Tak Ada Batasan Jam Kerja untuk Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS)

Mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Aulia Risma Lestari, baru-baru ini menjadi sorotan publik akibat dugaan perundungan dan tekanan berat yang dialaminya saat menempuh pendidikan di RSUP dr. Kariadi, Semarang. Kasus ini memperbincangkan masalah jam kerja yang berlebihan bagi mahasiswa PPDS, di mana Undip mengakui bahwa mereka tidak memiliki batasan khusus terkait durasi jam kerja tersebut.

Dekan Fakultas Kedokteran Undip, Yan Wisnu Prajoko, mengonfirmasi bahwa pihaknya belum merumuskan batasan jam kerja bagi mahasiswa PPDS. Hal ini disampaikan Wisnu dalam konferensi pers daring pada tanggal 23 Agustus 2024. Dalam kesempatan itu, dia membahas kondisi kerja yang dihadapi mahasiswa PPDS, terutama di Program Studi Anestesi yang dinilai sangat berat, baik dari segi pembelajaran maupun jam kerja.

“Ada 19 program studi spesialis di Fakultas Kedokteran Undip. Masing-masing memiliki karakter dan cara kerja yang berbeda, tetapi Anestesi adalah salah satu yang terberat, terutama terkait jam kerja,” ungkap Wisnu. Dia menambahkan bahwa mahasiswa PPDS sering kali tidak bisa pulang tepat waktu karena beban kerja yang tinggi dan harus mematuhi sejumlah tuntutan dari senior serta dosen.

Wisnu juga menekankan bahwa adanya kebutuhan akan ketegasan dalam aturan yang mengatur jam kerja mahasiswa PPDS. Ia mengusulkan bahwa perlu ada komitmen bersama antara senior mahasiswa dan dosen yang bertugas sebagai operator, agar kondisi kerja lebih teratur dan manusiawi.

Selanjutnya, Undip berencana untuk mengadopsi batasan jam kerja yang diatur dalam kebijakan nasional, yakni 80 jam per minggu, berikut dengan aturan mengenai hak libur. Aturan tersebut dijadikan acuan dari kebijakan yang diterapkan di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat. Dalam pernyataannya, Wisnu menjelaskan bahwa “Ada edaran dari Kementerian Kesehatan yang merekomendasikan batasan jam kerja PPDS selama 80 jam. Ini meliputi porsi kerja yang tinggi, dengan rata-rata 10 jam kerja per hari dan dua kali jaga dalam seminggu.”

Kematian Aulia, yang diisukan terjadi karena tekanan yang dialaminya, menambah sorotan terhadap kondisi PPDS di Indonesia. Aulia dilaporkan meninggal dunia setelah diduga melakukan tindakan bunuh diri dengan menyuntikkan obat ke tubuhnya. Kabar ini memicu gelombang kritik terhadap sistem pendidikan yang ada, terutama mengenai bullying dan tekanan psikologis yang dialami mahasiswa di lapangan.

Namun, pihak Universitas Diponegoro membantah tudingan bahwa kematian Aulia disebabkan oleh perundungan. Hasil investigasi internal pihak universitas mengungkapkan bahwa Aulia meninggal karena penyakit, sementara pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan lebih lanjut terhadap kasus ini.

Kasus yang menimpa Aulia ini telah menciptakan keprihatinan di kalangan masyarakat dan mampu menggugah perhatian terhadap kondisi mahasiswa PPDS di Indonesia. Banyak pihak mulai mempertanyakan bagaimana sistem pendidikan kedokteran di Indonesia dapat diperbaiki agar menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman dan mendukung bagi mahasiswa.

Dalam merespons hal ini, mahasiswa PPDS di berbagai tempat juga mengungkapkan kekhawatiran mengenai kondisi kerja mereka. Dari pengamatan di lapangan, banyak yang merasa tertekan dengan tuntutan kerja yang tinggi dan kurangnya dukungan psikologis bagi mereka yang sedang menjalani pendidikan spesialis.

Melihat dari perspektif yang lebih luas, tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa PPDS tidak hanya mengarah pada kesehatan fisik tetapi juga kesehatan mental. Pentingnya reformasi dalam sistem pendidikan kedokteran di Indonesia mulai mendapat perhatian, terutama dalam memberikan dukungan kepada mahasiswa yang mengalami perundungan dan tekanan kerja yang ekstrem.

Dekan Yan Wisnu menyatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk memperbaiki sistem pengawasan dan dukungan bagi mahasiswa PPDS, dengan merumuskan batasan yang jelas mengenai jam kerja. Selain itu, pihak fakultas juga berupaya untuk melakukan pendekatan lebih humanis kepada mahasiswa, agar mereka merasa lebih dihargai dan didukung selama menjalani pendidikan di dunia medis.

Ketika tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa PPDS di Indonesia terus mengemuka, penting bagi semua pihak untuk percaya bahwa pendidikan yang baik akan melahirkan dokter yang berkualitas dan siap melayani masyarakat. Reformasi dalam sistem pendidikan kedokteran, termasuk penetapan batasan jam kerja dan dukungan kesehatan mental yang memadai, menjadi langkah awal untuk mencapai tujuan tersebut.

Seluruh pihak, baik fakultas, mahasiswa, maupun pemerintah, perlu bersinergi untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih baik, demi masa depan profesi medis yang lebih bermartabat dan berkelanjutan.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button