Donald Trump, mantan Presiden Amerika Serikat, mengungkapkan bahwa ia tidak akan mencalonkan diri lagi untuk pemilihan presiden jika kalah dalam pemilu mendatang pada 5 November 2024. Pernyataan tersebut diungkapkan Trump dalam wawancara bersama Sharyl Attkisson di program "Full Measure" pada 22 September 2024. Dalam wawancara tersebut, Trump menegaskan, "Tidak, saya tidak akan. Saya tidak melihat itu sama sekali. Mudah-mudahan, kita akan berhasil (tahun ini)." Pernyataan ini memberikan gambaran jelas mengenai pandangannya terhadap masa depannya dalam politik jika hasil pemilu tidak berpihak padanya.
Kisah perjalanan politik Trump tidak lepas dari kontroversi. Setelah meluncurkan kampanye pemilihan kembali untuk pemilihan 2020 pada hari pelantikannya di tahun 2017, Trump kembali mengumumkan upaya untuk menduduki Gedung Putih untuk kedua kalinya pada November 2022, menjelang pemilu 2024. Namun, Trump juga dikenal dengan penolakannya untuk mengakui kekalahannya dalam pemilu 2020 melawan Joe Biden, yang ia klaim didasarkan pada dugaan kecurangan. Keterlibatannya dengan berbagai isu hukum, termasuk tuntutan pidana federal dan negara bagian terkait usahanya membatalkan hasil pemilu, menambah kompleksitas situasinya menjelang pemilu saat ini.
Sementara itu, kompetisi yang dihadapi oleh Trump semakin ketat, terutama melawan Wakil Presiden Kamala Harris yang merupakan kandidat dari Partai Demokrat. Beberapa jajak pendapat menunjukkan bahwa kedua kandidat ini bersaing sengit di negara-negara bagian yang berpotensi menentukan pemilih. Harris, yang berusia 59 tahun, menggambarkan pemilu kali ini sebagai “momen kritis bagi demokrasi AS,” menekankan betapa pentingnya setiap suara yang diberikan.
Ketika ditanya mengenai kemungkinan jeda empat tahun untuk merencanakan langkah politik berikutnya, Trump mencatat bahwa “Akan lebih mudah jika saya melakukannya secara berkesinambungan.” Pernyataan ini mengindikasikan harapannya untuk kembali meraih posisi selaku presiden, meskipun ia juga mengakui tantangan baru yang dihadapinya dalam pemilu mendatang. Ia juga menekankan bahwa “masih terlalu dini” untuk membahas pembentukan kabinet di kepemimpinannya jika terpilih kembali, menunjukkan bahwa fokusnya saat ini adalah mengamankan suara dalam pemilu yang akan datang.
Di sisi lain, Harris berfokus pada isu-isu sosial dan ekonomi seperti biaya hidup dan perumahan yang menjadi perhatian utama masyarakat. Hal ini mencerminkan strategi kampanye yang lebih berorientasi pada kebutuhan rakyat dan upaya untuk mendapatkan dukungan dari pemilih dalam situasi ekonomi yang menantang.
Dengan pemilihan yang semakin dekat, dynamic politik di AS semakin intensif. Ketegangan antara dua kandidat utama, Trump dan Harris, mencerminkan perpecahan yang mendalam di kalangan pemilih di seluruh negeri, di mana masing-masing pihak bersiap untuk mempertahankan dukungan mereka sambil berusaha mengedukasi serta menarik pemilih yang ragu-ragu. Kesehatan politik dan integritas proses pemilu juga terus menjadi sorotan, mengingat banyaknya isu yang beredar pasca pemilu 2020.
Persepsi publik terhadap kedua kandidat ini, begitu pula dengan persepsi terhadap integritas pemilu yang akan dilakukan, akan sangat berpengaruh pada hasil akhir. Apakah Trump mampu mempertahankan basis dukungannya ataukah Harris dapat membalikkan keadaan dan menguatkan posisinya sebagai calon presiden wanita pertama yang terpilih, hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Dengan demikian, tampaknya pemilu tahun ini bukan hanya menjadi ajang perebutan kursi kepresidenan, melainkan juga menjadi pertaruhan bagi masa depan politik Donald Trump. Mengingat pernyataannya bahwa ia tidak akan mencalonkan diri lagi jika kalah, sorotan besar akan tertuju pada hasil pemilu yang akan datang sebagai penentu apakah Trump akan melanjutkan karier politiknya atau mundur dari panggung yang telah membesarkan namanya. Persaingan semakin ketat dan jury rakyat Amerika akan memberikan suara mereka, menentukan arah politik negara ini untuk beberapa tahun ke depan.