Kesehatan

Tragedi Dokter PPDS: Diduga Bunuh Diri Akibat Bullying, Kenali 5 Kategori Perundungan di Tempat Kerja

Seorang dokter muda Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) di Universitas Diponegoro, Aulia Risma Lestari, ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Semarang pada Senin, 12 Agustus 2024. Kematian ini diduga kuat sebagai bunuh diri, setelah pihak kepolisian menemukan buku harian korban yang berisi curahan hati mengenai pengalaman perundungan (bullying) yang dialaminya di RSUP Kariadi, Semarang. Kejadian tragis ini menjadi sorotan serius mengenai pentingnya keselamatan mental di dunia medis, terutama di kalangan dokter muda yang tengah menjalani pendidikan dan pelatihan yang penuh tekanan.

Kementerian Kesehatan langsung merespons dengan menghentikan sementara program PPDS Anestesi di Universitas Diponegoro di RSUP Dr. Kariadi, menunggu hasil investigasi lebih lanjut. Kasus ini mengungkapkan permasalahan mendalam tentang lingkungan kerja di bidang kesehatan yang tidak selalu mendukung kesejahteraan mental dan emosional para tenaga medis.

Bullying di Tempat Kerja merupakan isu yang perlu dihadapi, terutama di kalangan profesional kesehatan yang sering kali beroperasi dalam kondisi yang sangat menuntut. Menurut penelitian yang dipublikasikan di Journal of Nursing Management, bullying di lingkungan kerja dapat dibagi menjadi lima kategori utama, yang dapat menjadi dasar untuk memahami berbagai bentuk perilaku perundungan yang mungkin terjadi.

1. Ancaman terhadap Status Profesional mencakup tindakan seperti meremehkan pendapat seorang profesional, mempermalukan di depan umum, serta ancaman dan intimidasi melalui prosedur disiplin. Tindakan semacam ini dapat menurunkan kepercayaan diri serta motivasi kerja individu yang menjadi sasaran, mendorong mereka menuju kondisi mental yang buruk.

2. Ancaman terhadap Kehormatan Pribadi melibatkan perilaku yang merusak integritas pribadi, seperti ejekan yang terus-menerus, penghinaan, serta membuat lelucon tidak pantas. Saat individu merasa dihina atau direndahkan, dampak emosional yang ditimbulkan bisa sangat dalam, memengaruhi kinerja dan kualitas hidup mereka di luar pekerjaan.

3. Isolasi adalah bentuk bullying yang tidak selalu terlihat secara langsung. Ini mencakup pengabaian sosial, di mana individu diabaikan dalam diskusi atau keputusan penting, serta penahanan informasi yang seharusnya mereka terima. Isolasi dapat membuat individu merasa terasing, sehingga memperburuk keadaan mental mereka.

4. Beban Kerja Berlebih juga merupakan faktor signifikan yang dapat menyebabkan stres di tempat kerja. Tindakan ini mencakup penetapan tenggat waktu yang tidak realistis, tekanan berlebihan, dan beban kerja yang tidak masuk akal. Hal ini tidak hanya mempengaruhi efektivitas individu dalam menjalankan tugas, tetapi juga memperburuk kondisi psikologis mereka.

5. Destabilisasi mencakup kegagalan untuk mengakui pekerjaan baik yang dilakukan individu, memberikan tugas yang dianggap tidak berarti, atau menetapkan target yang sulit dicapai. Tindakan ini dapat menyebabkan kebingungan dan ketidakpastian, yang pada akhirnya melemahkan semangat kerja dan kepercayaan diri individu.

Dampak dari bullying di tempat kerja memiliki konsekuensi yang luas, tidak hanya pada individu yang menjadi korban tetapi juga terhadap organisasi secara keseluruhan. Lingkungan kerja yang penuh perundungan menjadikan suasana kerja menjadi negatif, mengurangi produktivitas, dan bahkan mengancam keberlangsungan organisasi. Dalam konteks perawatan kesehatan, sekitar 80% perawat melaporkan mengalami perilaku bullying selama karir mereka. Seperti halnya di sekolah, dunia kerja yang menuntut interaksi sosial menjadikan hubungan antar individu sangat penting untuk fungsi organisasi yang efisien.

Penelitian menunjukkan bahwa individu yang menjadi korban perundungan di tempat kerja umumnya mengalami gangguan emosional yang serius. Mereka cenderung mengambil keputusan untuk mundur dari posisi mereka, yang pada gilirannya menciptakan lingkungan kerja yang tidak kondusif. Respon negatif terhadap stres akibat bullying ini dapat mengganggu kemampuan individu untuk mengelola emosi, memperburuk kondisi mental yang sudah ada.

Mereka yang terlibat dalam bullying sering kali memiliki kecerdasan sosial yang tinggi namun rendah dalam kecerdasan emosional (EI). Gelagat ini terlihat ketika individu-individu tersebut dapat memengaruhi orang lain dan berada di posisi tinggi dalam hierarki sosial, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menunjukkan empati. Dalam kelompok dengan EI rendah, individu dapat terpengaruh untuk terlibat dalam tindakan tidak etis yang mendukung atau mentolerir bullying.

Untuk mengatasi bullying di tempat kerja, sangat penting untuk meningkatkan kecerdasan emosional di antara anggota tim. EI yang tinggi berhubungan erat dengan perilaku etis dalam tim, serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih positif. Dimensi seperti kesadaran diri dan pengelolaan diri dari EI terbukti memiliki dampak positif dalam kepemimpinan yang baik serta menciptakan budaya kerja yang sehat.

Dengan meningkatkan kecerdasan emosional dan keterampilan kepemimpinan, organisasi dapat memperbaiki kondisi kerja dan meminimalisir bullying. Menyadari pentingnya langkah-langkah preventif untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif dan positif sangat esensial, terutama di sektor kesehatan yang kerap kali dibebani dengan stres tinggi.

Kasus tragis Aulia Risma Lestari menjadi pengingat bahwa kesehatan mental dalam dunia medis harus menjadi prioritas. Pihak berwenang dan institusi pendidikan diharapkan untuk terus memantau kondisi dan mendukung kesejahteraan mental para profesional muda, untuk mencegah kejadian serupa terjadi di masa depan.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.

Artikel Terkait

Back to top button