Dunia

Tiongkok dan Filipina Ribut Lagi di Laut China Selatan: Ketegangan Meningkat di Wilayah Sengketa

Ketegangan antara Tiongkok dan Filipina di Laut China Selatan kembali memanas setelah serangkaian insiden yang melibatkan kapal penjaga pantai masing-masing negara. Laut China Selatan merupakan kawasan strategis yang kaya akan sumber daya dan jalur pelayaran internasional. Namun, klaim tumpang tindih dari berbagai negara, termasuk Tiongkok dan Filipina, telah memicu sengketa yang berkepanjangan.

Tiongkok mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan berdasarkan apa yang dikenal sebagai "Sembilan Garis Putus." Klaim ini tercantum dalam peta historis Tiongkok dan mencakup area yang sama, termasuk bagian yang disebut Laut Filipina Barat oleh Filipina. Filipina memiliki beberapa pulau, seperti Kepulauan Spratly, yang juga menjadi subjek sengketa.

Penting untuk dicatat bahwa pada tahun 2016, Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag mengeluarkan putusan yang mendukung posisi Filipina, menyatakan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki dasar hukum yang kuat menurut Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS). Namun, Tiongkok menolak keputusan tersebut dan terus membangun infrastruktur di wilayah yang disengketakan.

Ketegangan antara Tiongkok dan Filipina semakin meningkat. Pada 17 Juni, Tiongkok menuduh Filipina berusaha mengangkut pasokan secara ilegal ke Second Thomas Shoal, yang juga dikenal sebagai Ayungin Shoal oleh Filipina. Tiongkok mengklaim bahwa Filipina mengabaikan peringatan dari penjaga pantai Tiongkok dan melakukan tindakan berbahaya, termasuk manuver berisiko. Penjaga Pantai Tiongkok kemudian melakukan tindakan untuk menghentikan upaya tersebut, yang memicu ketegangan lebih lanjut.

Di pihak Filipina, mereka menuding Tiongkok menghalangi misi kemanusiaan, termasuk upaya untuk mengevakuasi anggota bersenjata yang sakit. Menurut informasi dari Kementerian Luar Negeri Filipina, tindakan Tiongkok dianggap sebagai langkah ilegal dan agresif, yang mengakibatkan cedera pada personel dan kerusakan kapal.

Ketegangan tersebut berlanjut dengan insiden yang terjadi pada 19 Agustus, saat kapal Tiongkok dan Filipina terlibat konfrontasi di dekat Terumbu Karang Xianbin. Setelah kejadian ini, kedua belah pihak saling tuduh. Penjaga Pantai Tiongkok menuduh kapal Filipina melakukan tindakan provokatif, sementara Filipina menyatakan kapal mereka hanya menjalankan tugas rutin menuju pulau yang mereka duduki, terhalang oleh kapal-kapal Tiongkok yang bersikap agresif.

Second Thomas Shoal, atau Ren’ai Jiao dalam istilah Tiongkok, merupakan lokasi bentrokan yang sering terjadi antara kedua negara. Tiongkok mengklaim bahwa kawasan ini adalah bagian dari kedaulatan mereka, mencatat sejarah panjang terkait penguasaan kawasan tersebut sejak tahun 1999 ketika Filipina menarik sebuah kapal perang ke lokasi tersebut. Hingga kini, kawasan ini tetap menjadi sumber ketegangan.

Secara umum, berbagai upaya diplomatik telah dilakukan oleh kedua negara untuk menyelesaikan sengketa ini. Hal ini termasuk perundingan bilateral dan pertemuan multilateral, namun hingga saat ini, tidak ada kesepakatan yang tercapai. Sengketa di Laut China Selatan tidak hanya berdampak pada Filipina dan Tiongkok, tetapi juga melibatkan negara-negara lain dengan klaim serupa, seperti Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Pakar internasional memandang bahwa situasi di Laut China Selatan mencakup berbagai aspek, termasuk hukum internasional, geopolitik, dan keamanan regional. Ketegangan ini sering kali menjadi perhatian global, terutama mengingat Laut China Selatan adalah salah satu jalur perdagangan terpenting di dunia, yang mempengaruhi ekonomi dan keamanan regional.

Menghadapi kenyataan ini, Filipina tampaknya mengandalkan dukungan dari negara-negara besar di luar kawasan, seperti Amerika Serikat, untuk memperkuat posisinya dalam menghadapi Tiongkok. Namun, Tiongkok dengan tegas menolak intervensi dari negara-negara luar, menganggap bahwa sengketa ini adalah masalah bilateralisme yang seharusnya diselesaikan secara langsung antara kedua negara.

Ketegangan yang berulang di Laut China Selatan menunjukkan bahwa konflik ini bukan hanya soal batas wilayah, tetapi juga suatu gambaran dinamika kekuatan geopolitik di Asia Tenggara. Negara-negara yang terlibat dalam konflik ini harus berhati-hati dalam merespons provokasi, mengingat risiko yang lebih luas yang mungkin timbul dari ketidakstabilan di kawasan tersebut.

Sementara itu, suara masyarakat sipil di Filipina juga semakin menguat menuntut transparansi dan konsistensi dari pemerintah mereka dalam menangani sengketa ini. Banyak yang merasa bahwa penting untuk meningkatkan dialog dengan pihak internasional untuk mencegah ancaman terhadap kedaulatan negara, serta menjaga keamanan dan stabilitas di Laut China Selatan.

Dalam konteks yang lebih luas, konflik di Laut China Selatan mencerminkan pergeseran dalam dinamika kekuatan di tingkat global, di mana Tiongkok berusaha menunjukkan kebangkitan kekuatan geopolitiknya, sementara Filipina berupaya menjaga kedaulatan wilayahnya dalam menghadapi tekanan tersebut. Hingga saat ini, situasi ini masih terus berlanjut dengan ketidakpastian tentang bagaimana tragedi ini akan bermuara di masa depan, dan apakah akan ada jalan keluar yang damai bagi kedua belah pihak di tengah semakin besarnya cita-cita dan kepentingan masing-masing negara.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button