BPA (Bisphenol-A) telah lama menjadi topik kontroversial yang sering kali dikaitkan dengan berbagai masalah kesehatan, termasuk gangguan kesuburan pada perempuan dan risiko mikropenis pada laki-laki. Namun, kajian terkini menunjukkan bahwa banyak tudingan terhadap BPA mungkin tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Menurut Dr. Ervan Surya, Sp.OG, spesialis kandungan dan kebidanan dari Tzu Chi Hospital, penting untuk lebih cermat dalam menilai penelitian terkait BPA yang beredar di masyarakat.
Sebagai contoh, sebuah studi meta-analisis yang dilakukan dari tahun 2013 hingga 2022 mengkaji hubungan antara BPA dengan kesuburan perempuan. Penelitian ini memperhitungkan tiga parameter utama: kebutuhan untuk IVF (in-vitro fertilization), PCOS (polycystic ovarian syndrome), dan endometriosis. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada korelasi signifikan antara paparan BPA dan masalah kesuburan yang diteliti. Dr. Ervan menyatakan, “Ternyata kesimpulannya, tidak ada kaitan antara paparan BPA dengan endometriosis, IVF, dan PCOS.”
Selanjutnya, isu lain yang sering muncul adalah kemungkinan BPA menyebabkan persalinan prematur. Namun, hasil studi meta-analisis yang melibatkan tujuh penelitian dengan total 3.004 partisipan menunjukkan sebaliknya. “Kesimpulannya, tidak ada bukti yang mendukung bahwa paparan BPA selama kehamilan berhubungan dengan usia kehamilan, panjang bayi, berat badan bayi, dan lingkar kepala bayi,” paparnya. Faktor-faktor lain, seperti infeksi saluran kemih dan infeksi vagina, justru lebih sering menjadi penyebab persalinan prematur.
Mengenai infertilitas pada laki-laki, Dr. Ervan mengakui bahwa di dalam penelitian in vivo (penelitian pada hewan), ada pengaruh BPA. Namun, "Pada manusia, belum ditemukan keterkaitannya. Butuh lebih banyak penelitian untuk menyimpulkan hal ini," ujarnya. Soal mikropenis, Dr. Ervan menyatakan bahwa kondisi ini memiliki banyak penyebab yang beragam, baik yang berkaitan dengan faktor kongenital maupun gangguan perkembangan organ seksual pada janin.
Infertilitas sendiri adalah kondisi di mana pasangan tidak berhasil hamil setelah satu tahun berhubungan seksual secara teratur tanpa penggunaan kontrasepsi. Menurut Dr. Ervan, penyebab infertilitas pada perempuan terbagi menjadi beberapa kategori: 40% disebabkan oleh gangguan pada tuba fallopi dan panggul, 40% disebabkan oleh disfungsi ovulasi, sementara 10% sisanya disebabkan oleh faktor yang lebih jarang, seperti penyakit autoimun. Sedangkan pada laki-laki, penyebab utama infertilitas berkaitan dengan kesehatan sperma yang bisa terbagi lagi menjadi beberapa faktor, termasuk varikokel dan disfungsi seksual.
Satu hal yang patut dicatat adalah bahwa rokok dan alkohol telah terbukti dapat memicu masalah kesuburan, dengan kaitan yang lebih jelas daripada BPA. Dr. Ervan menekankan perlunya perhatian lebih terhadap faktor-faktor risiko yang sudah terbukti dan tidak murni tentang ketakutan terhadap BPA tanpa data yang valid.
Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengeluarkan regulasi mengenai keamanan kemasan pangan yang mengatur batas maksimum migrasi BPA dari kemasan, di mana batas maksimal yang diperbolehkan adalah 0,6 bpj (600 mikrogram/kg) untuk kemasan polikarbonat. Berdasarkan pengawasan BPOM selama lima tahun terakhir terhadap kemasan galon air mineral dalam kemasan dari polikarbonat, migrasi BPA yang terdeteksi ternyata berada jauh di bawah batas aman tersebut, yaitu di bawah 0,01 bpj (10 mikrogram/kg).
Dalam konteks ini, cukup jelas bahwa kebijakan pemerintah dan regulasi yang ada telah berupaya menjaga masyarakat dari potensi bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh BPA. "Berdasarkan hasil pengawasan, migrasi BPA di bawah batas aman adalah hasil yang sangat menggembirakan," kata Dr. Ervan.
Kesimpulannya, BPA di tengah kontroversi ini ternyata tidak sejalan dengan banyak anggapan negatif yang ada. Meski ada isu seputar kemungkinan dampak buruk BPA, kajian ilmiah yang kuat belum menemukan hubungan yang signifikan antara BPA dan berbagai masalah kesehatan yang sering dituduhkan, termasuk kesuburan dan mikropenis. Oleh karena itu, adalah penting untuk tidak menggeneralisasi satu penyebab untuk beragam masalah kesehatan dan lebih jauh lagi, untuk menggali lebih dalam ke dalam berbagai faktor yang mempengaruhi kesehatan reproduksi manusia. Dr. Ervan menekankan perlunya penelitian yang lebih mendalam untuk memahami isu ini secara holistik dan menghindari panik yang tidak berdasar.