Hiburan

Tapi Marie Antoinette Gak Bau Ketek: Fakta Menarik di Balik Hidup Ratu Prancis

Di tengah hiruk-pikuk perbincangan mengenai kehidupan sosialita di Indonesia, nama Erina Gudono, menantu Presiden Joko Widodo, mendadak menjadi sorotan publik. Hal ini bermula dari berbagai unggahan media sosial yang memperlihatkan aktivitas Erina dan suaminya, Kaesang Pangarep, saat mereka menikmati liburan bersama di luar negeri. Media sosial ramai dengan unggahan yang menunjukkan Erina berpose dengan makanan mahal dan menaiki private jet, tindakan yang dianggap tidak sensitif di tengah situasi sulit yang dialami banyak masyarakat Indonesia.

Kritik terhadap perilaku Erina mencuat terutama setelah munculnya ragam cuitan di platform media sosial, salah satunya dari akun X @slausivrpd yang menyoroti ketidakpuasan terhadap DPR RI yang dianggap menyepelekan putusan Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan kepala daerah. Dalam cuitannya, ia menyayangkan sikap pasangan muda itu yang asik dengan dunia glamor di saat rakyat banyak yang merasakan kesulitan. “Sementara itu, pasutri @kaesangp malah enak-enakan makan roti 400 ribu. Rakyat repot gara-gara lu,” tulis akun tersebut.

Perbandingan antara Erina dan sosok Marie Antoinette, Ratu Prancis terakhir yang terkenal karena gaya hidupnya yang glamor, tidak dapat dihindari. Marie Antoinette, yang lahir pada 1755, dikenal sebagai putri dari Kaisar Romawi, Francis I, sebelum menikah dengan Raja Prancis Louis XVI. Sejarah mencatat bahwa ia sering mengundang teman-teman untuk berpesta dan menunjukkan kehidupannya yang bermewah-mewahan di tengah krisis yang melanda negara. Sikap serupa tampaknya terlihat pada Erina, yang kemudian mendapatkan gelar ‘Marie Antoinette’ di dalam diskusi publik.

Lebih lanjut, ungkapan tidak menyenangkan pun muncul dari beberapa netizen yang mengejek perilakunya. "Tapi Marie Antoinette nggak bau ketek," tulis salah satu komentar yang viral. Canda ini menggambarkan pandangan publik yang merasa bahwa meskipun hidup dengan glamor, sikap Erina dinilai alpa terhadap keadaan kesejahteraan rakyat.

Perbandingan ini kemudian memicu trend di media sosial, ketika berbagai pengguna saling berbagi pendapat dan sindiran. Banyak yang menyampaikan bahwa kehadiran Erina dalam kehidupan publik seperti menciptakan kembali kesenjangan antara mereka yang berkuasa dan rakyat biasa. Dalam pandangan mereka, Erina seolah lupa diri dan hidup dalam dunia yang terpisah dari realitas masyarakat.

Kritik dari masyarakat ini menunjukkan bahwa harapan publik terhadap figur-figur publik seperti Erina dan Kaesang adalah untuk lebih peka dan solider terhadap keadaan. Terlebih, di saat banyak orang berjuang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sikap hedonis dan pamer kekayaan dianggap sangat tidak pantas. Hal ini dapat menimbulkan persepsi buruk tentang generasi muda yang lahir dalam keluarga berpengaruh di Indonesia.

Sikap Erina yang memposting gambar-gambar glamor dan momen liburan yang menyenangkan di luar negeri, tanpa mempertimbangkan dampak sosial, memunculkan kebangkitan kesadaran di kalangan netizen. Mereka ingin mengingatkan bahwa kehidupan masyarakat tidak selalu seindah yang terlihat di media sosial. Pangkal permasalahan ini adalah keinginan untuk mempertahankan kepekaan sosial di saat ketidakpastian semakin terasa bagi banyak orang.

Beberapa komentator juga menunjukkan keprihatinan terkait tren ini dalam konteks lebih luas. "Welcome back Marie Antoinette," sebuah cuitan menyiratkan bahwa perilaku ini adalah pengulangan dari sejarah, di mana para elit mengabaikan penderitaan rakyat. Ini menjadi sinyal bahwa masyarakat masih sangat peduli terhadap keadilan sosial dan berharap agar mereka yang berada dalam kekuasaan dapat lebih bertanggung jawab.

Perdebatan terkait perilaku Erina juga mengundang perhatian lebih luas tentang kesenjangan sosial di Indonesia. Di tengah zaman di mana informasi cepat tersebar dan diakses, sensitive future terhadap kondisi sosial menjadi penting bagi publik. Keterhubungan yang meningkat melalui media sosial juga membuat masyarakat lebih vokal dalam mengekspresikan ketidakpuasan dan harapan mereka terhadap figur publik.

Reaksi yang beragam terhadap perilaku Erina menunjukkan betapa kuatnya suara masyarakat dalam menyuarakan keberatan terhadap sikap yang dinilai tidak peka. Selain itu, fenomena ini juga menjadi pengingat bagi para publik figur akan tanggung jawab mereka dalam berperilaku di hadapan publik. Era digital ini membawa konsekuensi nyata, di mana publik dapat dengan mudah menilai dan menanggapi tindakan dari mereka yang berada dalam posisi kekuasaan.

Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini menunjukkan pergeseran cara pandang masyarakat terhadap elit politik dan sosial. Tidak lagi hanya sekadar menerima apa yang ditawarkan, masyarakat kini lebih kritis dan menuntut transparansi serta kepekaan. Ini adalah perkembangan yang menarik, yang menunjukkan bahwa suara rakyat tidak bisa diabaikan, dan mereka memiliki kekuatan untuk menuntut perubahan.

Akhirnya, kejadian ini buka sekadar menjadi sebuah lelucon di dunia maya, tetapi juga sebagai refleksi dari perasaan kolektif yang muncul dari masyarakat. Tanggapan terhadap perilaku Erina menunjukkan bahwa rakyat mengharapkan lebih dari sekadar kebaikan, tetapi juga keadilan dan empati dari yang berada di atas. Dengan demikian, harapan agar figur-figur publik dapat lebih bijak dalam mengelola citra dan respons terhadap situasi yang dihadapi masyarakat harus terus digaungkan.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button