Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengungkapkan optimismenya bahwa penjualan mobil hybrid atau hybrid electric vehicle (HEV) akan tetap melaju meski pemerintah mengambil keputusan untuk tidak memberikan insentif pada segmen tersebut. Keputusan ini bertepatan dengan potensi kenaikan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), yang juga diperkirakan akan memengaruhi industri otomotif di Indonesia.
Plt. Direktur Jenderal Ilmate Kemenperin, Putu Juli Ardika, dalam pernyataannya pada 20 Agustus 2024, menyatakan bahwa meskipun insentif bagi kendaraan hybrid dibatalkan untuk saat ini, peminat kendaraan hybrid di Indonesia masih terbilang tinggi. "Kita gak usah khawatir, karena yang peminat kendaraan hybrid itu masih sangat tinggi, lihat di jalan sudah banyak," katanya. Pernyataan ini mencerminkan keyakinan Kemenperin bahwa pasar mobil hybrid akan tetap menjanjikan.
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan bahwa penjualan mobil terelektrifikasi, yang terdiri dari Battery Electric Vehicle (BEV), Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), dan Hybrid EV (HEV), mencapai 36.053 unit pada semester I tahun 2024. Angka ini mencatat kenaikan signifikan sebesar 59,97% dibandingkan dengan tahun lalu. Dari total penjualan tersebut, mobil hybrid berhasil memimpin dengan penjualan sebanyak 24.066 unit, meningkat 46,08% dari tahun sebelumnya.
Kenaikan penjualan mobil hybrid ini menjadi sorotan, terutama ketika dibandingkan dengan data penjualan mobil listrik berbasis baterai yang mencapai 11.944 unit, yang juga menunjukkan pertumbuhan luar biasa sebesar 104,1% YoY. Di sisi lain, penjualan PHEV hanya mencatatkan 43 unit, menandakan bahwa meskipun terdapat pertumbuhan di segmen mobil listrik, hybrid tetap menjadi pilihan yang lebih populer di kalangan konsumen.
Pangsa pasar yang signifikan juga menjadi poin perhatian. Mobil listrik berbasis baterai hanya memiliki pangsa sekitar 2,92% dari total penjualan mobil nasional, sementara mobil hybrid mencapai 5,89%, dan PHEV hanya 0,01%. Hal ini menunjukkan bahwa di tengah kompetisi yang ketat, mobil hybrid masih memiliki tempat tersendiri di hati konsumen Indonesia.
Putu Juli Ardika juga menekankan bahwa faktor industri tidak ingin membuat pasar menunggu dengan harapan adanya insentif. "Kalau dari sisi industri tidak mau membuat konsumen itu ngambang karena kalau itu nanti dibahas, diwacanakan, dia [konsumen] gak jadi dong beli mobilnya, ah nanti aja gitu," ujarnya. Dengan keputusan untuk tidak memberikan insentif, Kemenperin berharap konsumen tidak ragu untuk segera membeli kendaraan.
Di balik keputusan ini, terdapat harapan bahwa insentif akan dibahas kembali pada pemerintahan baru di masa depan. Meskipun saat ini tidak ada rencana perluasan insentif untuk kendaraan hybrid, Kemenperin mencatat bahwa hal tersebut tetap menjadi pertimbangan untuk pengembangan pasar kendaraan elektrifikasi di Indonesia di tahun-tahun mendatang.
Putu juga mengungkapkan bahwa ide untuk memberikan insentif bagi mobil hybrid bermula dari pengamatan terhadap kebijakan di Thailand, yang telah memberikan insentif dua kali untuk kendaraan elektrifikasi. Dengan melihat keberhasilan negara tetangga, para pemangku kepentingan di Indonesia merasa perlu melakukan langkah serupa untuk menarik investasi di sektor ini.
Meskipun insentif belum dapat direalisasikan, Indonesia sudah memiliki beberapa pencapaian dalam ekosistem kendaraan listrik. Salah satu contohnya adalah investasi dari konsorsium Hyundai dan LG Energy yang telah mulai beroperasi. Investasi ini memungkinkan rantai pasok mereka tersambung mulai dari penyediaan sel baterai hingga perakitan baterai dan mobil listrik, yang diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia di pasar otomotif elektrifikasi global.
Kombinasi dari berbagai faktor ini memberikan harapan bahwa meskipun tanpa insentif, penjualan mobil hybrid tetap akan memiliki potensi yang baik. Dalam survey internal di kalangan konsumen, terlihat bahwa kesadaran akan manfaat dan efisiensi kendaraan hybrid semakin meningkat. Selain itu, iklim investasi yang terus membaik juga berkontribusi pada pertumbuhan industri otomotif di Indonesia.
Akan tetapi, tantangan tidak dapat diabaikan. Penjualan mobil hybrid masih harus bersaing dengan mobil berbasis baterai yang kini mendapatkan perhatian lebih, serta menghadapi risiko perubahan kebijakan sektor perpajakan yang dapat mempengaruhi daya beli konsumen. Oleh karena itu, konsistensi dalam kebijakan pemerintah serta dukungan kepada industri otomotif akan sangat menentukan arah perkembangan pasar mobil hybrid di Indonesia ke depan.
Sebagai langkah selanjutnya, industri otomotif diharapkan dapat terus berinovasi dan menawarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Pengembangan teknologi serta efisiensi energi menjadi fokus utama dalam mempertahankan pertumbuhan di segmen terelektrifikasi ini.Dengan demikian, meskipun tantangan dihadapi, optimisme tetap ada bahwa penjualan mobil hybrid akan mampu bertahan dan berkembang dalam jangka panjang, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan kendaraan ramah lingkungan.