Indonesia

Susahnya Upaya KPK Melarang Penerimaan Gratifikasi yang Kini Dinormalisasi di Indonesia

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui bahwa fenomena penerimaan gratifikasi masih marak terjadi di kalangan masyarakat, pejabat, dan pegawai negeri. Banyak pihak yang memberikan atau menerima gratifikasi dengan dalih merasa dibantu, sehingga hal ini mengakibatkan tindakan tersebut dinormalisasi. Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, menjelaskan, "Saya bilangnya gini, ‘dia sudah bantu saya’". Dalam pandangannya, normalisasi gratifikasi ini sebenarnya mencerminkan kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering memberikan hadiah sebagai bentuk terima kasih ketika mendapatkan bantuan.

Menurut Pahala, keadaan ini menjadi pertengkaran yang kompleks ketika berkaitan dengan pejabat atau penyelenggara negara. Pemberian yang diberikan kepada mereka bisa dianggap sebagai gratifikasi jika berkaitan dengan jabatannya. "Saya bilang ‘kamu ngasih dia terkait jabatannya dia’," jelas Pahala. Ada anggapan yang keliru, di mana banyak orang mengira bahwa pemberian gratifikasi tidak menjadi masalah selama bukan termasuk suap, dan pejabat juga menerima gratifikasi karena merasa itu hanya pemberian biasa tanpa ada timbal balik yang diharapkan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa timbal balik dari pemberian gratifikasi jarang dirasakan secara langsung, dan meskipun pengaruhnya tidak terlihat segera, hal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan dalam pelaksanaan tugas pejabat atau pegawai negeri. Contohnya, terdapat situasi di mana seorang hakim menerima hadiah setelah memberikan vonis dalam sebuah perkara, dan mereka berpandangan bahwa pemberian tersebut tidak memengaruhi keputusan. "Salah, dia memberi karena dia hakim, karena dia hakim," tegas Pahala.

KPK mencatat bahwa banyak pejabat yang merasa malas untuk melaporkan gratifikasi yang mereka terima. Salah satu faktor penyebabnya adalah alur penyerahan barang yang dibutuhkan untuk pelaporan yang terkesan rumit. Pelaporan sebenarnya dapat dilakukan secara daring, tetapi barang yang dinilai sebagai gratifikasi harus diserahkan ke KPK di Jakarta, dan biaya kirim yang mahal juga membuat pejabat enggan untuk melaporkan. "Misalnya pejabat di Maluku terima selendang Rp300 ribu, ngelapornya mah online, kita bilang itu selendang milik negara lah ngirimnya Rp800 ribu," kata Pahala.

Penolakan gratifikasi di awal dianggap sebagai langkah terbaik untuk menghindari kerumitan dalam pelaporan. Namun, jika pejabat tidak dapat menolak gratifikasi, mereka diingatkan untuk melaporkannya agar tidak terjebak dalam masalah hukum. "Seharusnya, supaya dia aman yang seperti itu ditolak, tolak saja," tutur Pahala. Dia juga menekankan bahwa penting bagi para pejabat untuk memahami definisi gratifikasi dan dapat membedakan pemberian yang berkaitan dengan jabatan atau acara di luar pekerjaan.

Dalam hal ini, KPK menyoroti adanya kesalahpahaman di kalangan pejabat dan pegawai negeri mengenai penerimaan gratifikasi. Banyak yang beranggapan bahwa menerima pemberian setelah pekerjaan selesai tidak menjadi masalah. "Kan sudah diputus, enggak ada hubungan lagi," ungkap Pahala. Biasanya, masalah ini muncul dari pencampuran antara adat dan hukum yang berlaku, di mana kebiasaan masyarakat sering kali menganggap bahwa pemberian sebagai bentuk penghargaan tidak akan berhubungan dengan jabatan yang dipegang.

KPK juga menilai bahwa aturan terkait gratifikasi di Indonesia terlalu keras dan perlu adanya pengubahan. "Kita ngerasa sekarang ini aturannya terlalu keras dan enggak masuk di akal," jelas Pahala. KPK kini sedang menyusun pengubahan melalui peraturan komisi yang diharapkan bisa lebih mengakomodasi praktik yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat tanpa mengabaikan aspek pencegahan korupsi.

Sebagai langkah yang sedang dipertimbangkan, KPK melakukan kajian terhadap penerimaan gratifikasi di berbagai negara, seperti Hongkong, Australia, dan Amerika Serikat, untuk memahami praktik dan penerapan aturan yang lebih fleksibel. "Pengalaman juga kita lihat lagi 2022 akhir gitu ke AS, melalui praktik gratifikasi kayak apa sih sebenarnya di sana," si Pahala menambahkan.

Pengubahan aturan ini diharapkan dapat membedakan antara gratifikasi dalam jabatan dan yang berkaitan dengan kepentingan adat. Pahala memberikan contoh, jika seseorang diminta menjadi pembicara lalu diberikan cendera mata tanpa ada urusan dengan pekerjaan, hal itu seharusnya tidak perlu dilaporkan. "Ya kan enggak ada urusan dengan deputi pencegahan," tandasnya.

Akhirnya, KPK ingin memastikan agar ke depannya, ada definisi yang jelas tentang konflik kepentingan dalam penerimaan gratifikasi. Penjelasan rinci mengenai kondisi ini diperlukan agar pejabat atau pegawai negeri tidak lagi menjadikan ketidaktahuan sebagai alasan tidak melaporkan gratifikasi yang diterima.

Secara keseluruhan, upaya KPK dalam menangani gratifikasi menghadapi berbagai tantangan, mulai dari normalisasi oleh masyarakat hingga kesulitan dalam proses pelaporan. Harapannya, dengan pengubahan aturan yang lebih baik dan pemahaman yang tepat, tindakan korupsi dapat ditekan, dan paradigma masyarakat terhadap gratifikasi dapat lebih diubah ke arah yang positif.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button