Lebih dari 130 pemimpin dunia akan berkumpul di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) minggu depan, dengan fokus utama pada krisis kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza dan konflik Ukraina. Dalam beberapa bulan terakhir, situasi di Gaza telah memicu kekhawatiran meningkatnya tindakan genosida, pasca serangan mendalam yang dilakukan oleh Israel sebagai respons terhadap serangan mendadak Hamas pada 7 Oktober 2023. Kejadian ini dipicu oleh eskalasi konflik yang semakin mengkhawatirkan di Timur Tengah dan membawa dampak signifikan pada kehidupan ribuan warga sipil.
Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menegaskan bahwa kekhawatiran tentang konflik Gaza dapat meluas ke seluruh wilayah Timur Tengah. Dalam pernyataannya, Guterres menyebutkan pentingnya mencegah eskalasi lebih lanjut, terutama setelah kelompok militan Lebanon, Hizbullah, menuduh Israel melakukan serangan. Israel sendiri belum memberikan komentar resmi mengenai tuduhan tersebut, namun situasi ini meningkatkan ketegangan yang sudah ada di kawasan.
Sementara itu, menurut Direktur PBB di International Crisis Group, Richard Gowan, meskipun masalah Gaza dan Ukraina mendominasi agenda Sidang Umum kali ini, kemungkinan untuk mencapai solusi signifikan tetap tipis. Gowan menyatakan, "Perang di Gaza, Ukraina, dan Sudan akan menjadi fokus utama, namun tidak ada harapan untuk terobosan yang berarti dalam mencapai perdamaian." Pernyataan ini menunjukkan bahwa meski banyak pembicaraan akan dilakukan, tantangan substansial tetap ada.
Krisis ini semakin mendesak, dengan data menunjukkan bahwa korban jiwa di Gaza mencapai lebih dari 41.000. Sembilan bulan setelah Majelis Umum PBB menyerukan gencatan senjata kemanusiaan secara bulat, dunia semakin tidak sabar untuk melihat tindakan nyata dalam menghentikan pertumpahan darah yang tidak berkesudahan ini.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dan Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, dijadwalkan untuk memberikan pidato di Majelis Umum pada 26 September. Kedua pemimpin ini memiliki pandangan yang sangat berbeda terkait peran PBB, dengan Netanyahu sering menuduh organisasi tersebut bersikap anti-Israel, sedangkan Abbas mendesak dukungan internasional lebih lanjut untuk hak-hak Palestina.
Sesi tahun ini juga diharapkan menjadi ajang diplomasi yang intensif, di mana para pemimpin akan berusaha menjalin hubungan dalam berbagai pertemuan bilateral. Banyak diplomat menyebut acara ini sebagai ajang "diplomatic speed-dating", di mana ruang rapat di PBB akan dipenuhi dengan upaya pencarian solusi untuk krisis global. Di antara isu-isu lain yang juga akan dibahas adalah perang di Sudan, kekerasan di Haiti, dan pelanggaran hak-hak perempuan oleh Taliban di Afghanistan, yang semuanya menambah lapisan kompleksitas pada diplomasi internasional saat ini.
Guterres sendiri menyoroti bahwa meski kekuasaan dan dana bukan berada di tangannya, suara dan kemampuan untuk menyatukan pemimpin dunia merupakan aset penting dalam pencarian solusi. Menyadari tantangan yang membelit PBB, para pemimpin berharap bahwa pertemuan ini dapat membuka jalan bagi dialog yang lebih konstruktif.
Dalam konteks yang lebih luas, tuduhan terhadap Iran dalam mendukung kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah serta perannya dalam konflik Ukraina juga akan menjadi sorotan utama. Negara-negara Eropa direncanakan akan melakukan pertemuan untuk membahas upaya pengendalian program nuklir Iran, dan Presiden Iran yang baru, Masoud Pezeshkian, diharapkan akan menyerukan dialog mengenai de-eskalasi.
Sementara itu, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, juga akan mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pidato di hadapan angota Dewan Keamanan PBB. Dalam pidatonya, ia akan mengeksplorasi peluang untuk meningkatkan diplomasi dalam mengakhiri invasi Rusia. Zelensky berharap untuk mendapatkan dukungan dari pemimpin-pemimpin dunia, termasuk dari Presiden AS, Joe Biden, serta kandidat presiden lainnya.
Rusia, yang terlibat dalam konflik Ukraina, tidak akan diwakili oleh Presiden Vladimir Putin secara langsung di New York, satu hal yang menjadi perhatian. Sebaliknya, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, akan memberikan pidato di Majelis Umum, dan ini dapat memberikan perspektif tambahan tentang posisi Rusia dalam konteks konflik yang terjadi.
Seiring dengan berkembangnya situasi tersebut, harapan untuk solusi diplomatik menjadi semakin berkurang, namun PBB tetap menjadi platform utama bagi negara-negara untuk merundingkan dan memperdebatkan isu-isu global. Sementara negara-negara di dunia semakin khawatir akan situasi yang terus memburuk, Sidang Umum PBB yang akan datang bisa menjadi momen penting, di mana kepemimpinan global harus menghadapi tantangan ini dengan sungguh-sungguh dan berkomitmen untuk menciptakan sebuah jalan menuju perdamaian.
Keberhasilan atau kegagalan rapat ini berpotensi memiliki dampak jangka panjang bagi stabilitas kawasan dan hubungan internasional di masa depan, di mana setiap detil dari pertemuan ini akan menjadi sorotan global.