Gaya Hidup

Sering Mengumpat dan Berkata Kasar Tingkatkan Risiko Gejala Depresi di Masa Depan

Penggunaan bahasa sehari-hari seringkali dianggap sepele, tetapi sebuah studi terbaru dari Yale menunjukkan bahwa pilihan kata yang digunakan seseorang, termasuk kebiasaan mengumpat dan berkata kasar, dapat menjadi sinyal yang penting dalam memprediksi perkembangan gejala depresi di masa depan. Penelitian yang dipublikasikan pada 16 September dalam Proceedings of the National Academy of Sciences ini memperlihatkan bahwa analisis terhadap penggunaan bahasa seseorang dapat memberikan wawasan lebih dalam terhadap kesehatan mental mereka.

Studi ini melibatkan 467 peserta yang diminta untuk menjawab sembilan pertanyaan terbuka dan mengisi Kuesioner Kesehatan Pasien (PHQ-9) yang mengukur keparahan simptom depresi. Peneliti menggunakan alat analisis linguistik, Linguistic Inquiry and Word Count (LIWC), untuk menilai berapa banyak kata yang dipilih peserta yang mengandung emosi positif atau negatif. Hasilnya menunjukkan bahwa individu dengan proporsi kata-kata negatif yang tinggi dalam jawabannya cenderung menunjukkan peningkatan gejala depresi di waktu mendatang.

Pentingnya Pilihan Kata dalam Memprediksi Depresi

Temuan ini memberikan pemahaman baru tentang bagaimana bahasa dapat mencerminkan kondisi emosional individu. Penggunaan kata-kata negatif yang sering, termasuk dalam konteks mengumpat, menunjukkan adanya gangguan dalam kesehatan mental. Hal ini sejalan dengan pengamatan bahwa orang yang mengalami depresi lebih cenderung menggunakan kata-kata emosi negatif di media sosial atau pesan teks yang mereka kirimkan.

Analisis Menggunakan Model Kecerdasan Buatan

Penelitian ini memanfaatkan teknologi modern, termasuk model bahasa besar seperti ChatGPT, untuk memberikan analisis yang lebih mendalam. Model ini dirancang untuk memahami konteks dan urutan kata, yang memungkinkan untuk menilai nada dari respons yang diberikan peserta. Peneliti menemukan bahwa skor yang dihasilkan oleh ChatGPT dalam mengukur nada positif atau negatif sama efektifnya dengan hasil penilaian manusia dalam memprediksi gejala depresi di masa mendatang.

Robb Rutledge, asisten profesor psikologi di Yale dan penulis studi ini, mengungkapkan bahwa menggunakan penilai manusia bersama teknologi dapat memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan hanya menghitung kata-kata yang mengandung emosi melalui alat standar seperti LIWC. “Kami ingin melihat urutan kata dan aspek multidimensi bahasa yang menjadi pusat pembentukan nada emosional,” ujar Rutledge.

Keterkaitan antara Bahasa dan Pengobatan Depresi

Penelitian ini membuka peluang untuk mengeksplorasi bagaimana analisis bahasa dapat memperbaiki evaluasi psikologis. Semakin banyak bukti yang muncul bahwa pemilihan kata berpengaruh pada cara individu merespons pengobatan. Dengan kata lain, orang yang cenderung menggunakan ungkapan kasar atau mengejek dalam komunikasi mereka mungkin lebih sulit dalam menanggapi terapi, yang dapat memperburuk kondisi depresi mereka.

Studi ini juga menunjukkan pentingnya meningkatkan pemahaman tentang penggunaan bahasa sehari-hari dalam konteks kesehatan mental. Pemanfaatan alat seperti ChatGPT diharapkan bisa menjadi metode baru dalam membantu profesional kesehatan mental mendapatkan informasi tambahan yang bermanfaat dalam diagnosing dan merawat pasien.

Harapan untuk Penelitian Selanjutnya

Masih ada banyak yang perlu dieksplorasi terkait dengan hubungan antara bahasa dan kondisi psikologis. Rutledge dan tim peneliti berharap untuk menerapkan pendekatan ini tidak hanya untuk depresi, tetapi juga untuk gangguan kejiwaan lainnya dengan periode pengamatan yang lebih panjang. Penelitian ini merupakan bagian dari usaha yang lebih luas untuk memahami hubungan antara emosi dan pengambilan keputusan dalam konteks kesehatan mental.

Salah satu bagian menarik dari penelitian ini adalah pengembangan aplikasi berbasis ponsel bernama Happiness Quest, yang memungkinkan pengguna untuk mengeksplorasi keterkaitan antara kesejahteraan psikologis dan keputusan yang mereka buat sehari-hari. Aplikasi ini bertujuan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesehatan mental dan bagaimana pengelolaan emosi dapat berkontribusi pada kebahagiaan yang lebih baik.

Peran Alat Kecerdasan Buatan dalam Kesehatan Mental

Penggunaan alat kecerdasan buatan seperti ChatGPT dalam analisis bahasa dapat menjadi tambahan yang berguna bagi kotak peralatan dokter dalam melakukan evaluasi kesehatan mental. Menurut Rutledge, dengan kombinasi beberapa alat analisis yang terotomatisasi, dokter bisa mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif tentang keadaan pasien. "Anda menginginkan kombinasi alat yang dapat digunakan oleh banyak orang, yang bersama-sama dapat memberi Anda gambaran singkat tentang seorang individu," jelasnya.

Dengan penemuan ini, pemahaman yang lebih baik tentang gejala dan cara memprediksinya diharapkan dapat meningkatkan kualitas perawatan kesehatan mental di masa depan. Alat kecerdasan buatan membuka metode baru untuk memanfaatkan data bahasa yang ada demi pemahaman lebih dalam terkait kesehatan mental.

Studi dari Yale ini adalah pengingat penting bahwa pilihan kata yang tampaknya sepele dalam komunikasi sehari-hari dapat memiliki dampak besar pada kesehatan psikologis seseorang. Kebiasaan mengumpat dan penggunaan bahasa kasar tidak hanya merefleksikan emosi saat itu, tetapi juga berpotensi memprediksi masalah kesehatan mental yang lebih serius di masa depan. Seiring dengan kemajuan teknologi dan pemahaman yang lebih baik tentang hubungan antara bahasa dan kesehatan mental, kita dapat berharap untuk pendekatan yang lebih inovatif dalam mendukung kesehatan mental masyarakat secara keseluruhan.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button