Laju mata uang rupiah di pasar uang Indonesia mengalami pelemahan yang signifikan pada pembukaan perdagangan hari ini, Jumat, 16 Agustus 2024. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang ditransaksikan antarbank di Jakarta tercatat turun sebesar 48 poin atau 0,31 persen, menjadi Rp15.748 per USD. Angka tersebut menunjukkan pergerakan penurunan dari level sebelumnya yang mencapai Rp15.700 per USD. Keterpurukan rupiah ini terjadi di tengah kenaikan indeks dolar AS yang mengalami peningkatan sebesar 0,42 persen, mencapai angka 103,03, menjauhi level terendah delapan bulan yang sebelumnya berada di angka 102,15.
Pelemahan rupiah ini bertepatan dengan beberapa data ekonomi yang menunjukkan performa yang kuat dari perekonomian Amerika Serikat. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar ini adalah kenaikan penjualan ritel di AS. Pada bulan Juli, penjualan ritel AS meningkat lebih tinggi dari yang diperkirakan, yang menjadi sinyal bahwa permintaan konsumen di negara tersebut tidak mengalami penurunan yang signifikan. Kondisi ini berpotensi mendorong pasar keuangan untuk meninjau ulang ekspektasi terkait pemotongan suku bunga oleh Federal Reserve (Fed) pada bulan depan, yang sebelumnya diprediksi mencapai 50 basis poin.
Data yang dirilis juga menunjukkan bahwa lebih sedikit warga Amerika yang mengajukan tunjangan pengangguran pada minggu terakhir, menandakan adanya perlambatan yang teratur di pasar tenaga kerja. Meskipun demikian, tingkat kesulitan bagi pekerja yang diberhentikan untuk mendapatkan pekerjaan baru tetap menjadi keluhan. Hal ini tentunya memberikan harapan bagi stabilitas ekonomi jangka pendek dan berhubungan erat dengan keputusan moneter yang diambil oleh Fed.
Salah satu analis keuangan, Peter Vassallo, Manajer Portofolio Valas di BNP Paribas Asset Management, menekankan bahwa data teranyar yang dirilis seolah kontradiktif dengan narasi pasar sebelumnya yang cenderung memprediksi Fed harus melakukan penurunan suku bunga yang besar untuk menghindari terjadinya resesi. Vassallo menyebutkan bahwa pergerakan tersebut dapat mengejutkan pelaku pasar yang sebelumnya telah bersiap untuk langkah-langkah drastis dari Fed.
Setelah rilis data penjualan ritel yang positif, pasar kini memiliki pandangan yang lebih berhati-hati terkait pemangkasan suku bunga berikutnya. Menurut alat CME FedWatch, saat ini pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 74,5 persen bahwa Fed akan melakukan pemangkasan sebesar 25 basis poin pada bulan depan, sementara peluang untuk pemangkasan 50 basis poin hanya sebesar 25,5 persen. Jumlah ini menunjukkan pembagian pendapat di antara trader tentang langkah yang seharusnya diambil oleh Fed, terutama setelah terjadinya aksi jual yang signifikan di pasar keuangan dalam beberapa waktu terakhir.
Berlanjutnya inflasi menjadi perhatian tersendiri. Kenaikan moderat pada indeks harga konsumen yang dirilis pada Rabu lalu menunjukkan bahwa inflasi tahunan untuk Juli melambat di bawah tingkat tiga persen untuk pertama kalinya sejak awal tahun 2021. Meski peningkatan harga konsumen menunjukkan bahwa inflasi dalam kondisi menurun, namun para pedagang pasar tetap skeptis bahwa Fed akan bertindak agresif dalam penurunan suku bunga ke depannya.
Dalam konteks ini, progres yang dicatat dalam perekonomian AS turut memberikan dampak langsung pada pasar mata uang, salah satunya terhadap nilai tukar rupiah. Pelemahan rupiah nampaknya juga disebabkan oleh pengaruh global, yang menunjukkan bahwa faktor eksternal terus berperan dalam menentukan arah dan tren nilai tukar mata uang negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Ketidakpastian di pasar internasional, terutama terkait kebijakan moneter yang diambil oleh Fed, memiliki pengaruh besar terhadap kondisi dan Stabilitas keuangan domestik.
Kondisi nilai tukar rupiah yang melemah ini juga bisa jadi memperberat tendensi inflasi domestik, di mana biaya impor barang dan jasa menjadi lebih mahal akibat depresiasi mata uang lokal. Hal ini berpotensi mempengaruhi daya beli masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan. Para ekonom terus memantau bagaimana reaksi pemangku kebijakan setempat, termasuk Bank Indonesia, terhadap pergerakan nilai tukar yang sedang bergerak tidak stabil saat ini.
Dengan merosotnya nilai tukar rupiah, ketidakpastian di pasar global terus berlanjut, yang mencerminkan keadaan perekonomian dunia yang masih rentan terhadap berbagai gejolak. Oleh karena itu, perhatian pasar akan tertuju pada langkah-langkah yang diambil oleh para pembuat kebijakan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri, serta dampak dari pengumuman data ekonomi yang akan datang.
Seiring dengan berlangsungnya perdagangan, tantangan bagi rupiah di pasar internasional tetap ada. Pelaku pasar diharapkan dapat responsif dan adaptif terhadap dinamika yang terjadi. Terlebih lagi, perkembangan yang muncul dari laporan dan data ekonomi, baik dari dalam negeri maupun global, bisa menentukan arah pergerakan nilai tukar di masa mendatang.