Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengecam keras pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang berencana untuk membangun sinagoga Yahudi di kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur. Rencana ini telah memicu berbagai reaksi negatif dari banyak pihak, termasuk Indonesia yang selama ini terus menekankan pentingnya menjaga status quo di lokasi yang sangat sakral bagi umat Islam tersebut.
"Indonesia mengecam keras pernyataan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang ingin dirikan sinagoge di Kompleks Masjid Al-Aqsa," tulis Kementerian Luar Negeri RI melalui akun media sosial X pada Selasa, 27 Agustus 2024. Dalam pernyataannya, Kemenlu RI menegaskan bahwa "Kesucian dan status quo Masjid Al-Aqsa harus dihormati dan dipertahankan, sesuai perjanjian internasional yang telah disepakati."
Pernyataan Ben-Gvir yang kontroversial ini disampaikan kepada Radio Angkatan Darat Israel, di mana ia mengindikasikan bahwa jika diberikan kebebasan untuk bertindak, ia akan berupaya mendirikan sinagoga di kompleks Al-Aqsa, yang dalam tradisi Yahudi dikenal sebagai Temple Mount. "Jika saya dapat melakukan apa pun yang saya inginkan, saya akan memasang bendera Israel di situs tersebut," ujar Ben-Gvir, yang menunjukkan sikap provokatif dan ambisius terhadap situs yang telah menjadi simbol penting bagi dua agama besar dunia.
Kompleks Al-Aqsa, yang merupakan situs tersuci ketiga bagi umat Islam, juga memegang makna historis yang sangat dalam bagi umat Yahudi, yang menganggapnya sebagai lokasi Bait Suci Pertama dan Kedua. Bait Suci Kedua sendiri, yang penting dalam tradisi Yahudi, terakhir kali dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 M. Ketegangan yang muncul akibat rencana Ben-Gvir ini memunculkan kekhawatiran akan meningkatnya konflik di wilayah yang sudah rentan ini.
Menariknya, pernyataan Ben-Gvir tidak hanya mendapat tentangan dari masyarakat internasional, namun juga dari kalangan Yahudi itu sendiri. Para rabi terkemuka dari komunitas Yahudi Ortodoks menyatakan bahwa situs tersebut terlalu suci untuk dimasuki oleh orang Yahudi. Dalam pandangan mereka, orang Yahudi dilarang untuk memasuki bagian mana pun dari Al-Aqsa karena alasan kesucian tempat tersebut.
Berdasarkan status quo yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, otoritas Israel memperbolehkan orang Yahudi dan non-Muslim lainnya untuk mengunjungi kompleks Al-Aqsa di Yerusalem Timur, namun dengan ketentuan bahwa mereka tidak diizinkan untuk berdoa di sana atau memperlihatkan simbol-simbol keagamaan. Penyimpangan dari norma-norma ini sangat sensitif dan dapat memicu ketegangan serta konflik baru di wilayah yang telah lama menjadi pusat perselisihan antara Israel dan Palestina.
Rencana Ben-Gvir untuk membangun sinagoga di dalam kompleks yang telah ada sejak ribuan tahun lalu ini tidak hanya dilihat sebagai langkah provokatif, tetapi juga berpotensi mengancam perdamaian. Berbagai organisasi internasional dan negara-negara lain, termasuk Indonesia, terus memantau situasi ini dan menyerukan perlunya dialog yang konstruktif untuk meredakan ketegangan dan membangun toleransi di antara umat beragama.
Masyarakat internasional, khususnya negara-negara yang mendukung Palestina, menyatakan keprihatinan yang mendalam terhadap tindakan yang dianggap melanggar kesucian tempat tersebut. Indonesia sendiri memiliki komitmen yang kuat terhadap isu Palestina dan menyuarakan keprihatinan tersebut di forum-forum internasional. Hal ini menunjukkan bahwa ketegangan di Al-Aqsa tidak hanya berdampak pada permasalahan lokal, tetapi juga mempengaruhi hubungan internasional dan stabilitas di kawasan Timur Tengah.
Penting untuk diingat bahwa setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah Israel terkait dengan tempat suci ini dapat memiliki konsekuensi jauh jangka panjang. Masyarakat internasional dan organisasi-organisasi seperti Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) telah berulang kali menyerukan untuk menghormati status quo yang telah ada, dan memainkan peran dalam menjaga kestabilan di Yerusalem.
Reaksi tegas dari Kementerian Luar Negeri Indonesia menjadi bukti bahwa pemerintah telah mengambil sikap tegas terhadap situasi ini. Jangan sampai tindakan sepihak yang diambil oleh pemerintah Israel semakin memicu ketegangan dan konflik yang berkepanjangan. Dalam hal ini, sangat penting untuk mencari alternatif dialog dan diplomasi, guna mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan antara semua pihak yang terlibat.
Dengan perkembangan yang terjadi, diharapkan masyarakat internasional juga akan lebih intensif mendukung inisiatif untuk memastikan bahwa lokasi-lokasi suci dihormati oleh semua pihak. Hal ini adalah bagian dari upaya untuk mencapai perdamaian yang abadi di kawasan Timur Tengah yang telah lama dilanda konflik. Terakhir, harapan agar semua pihak dapat menjaga kesucian tempat-tempat ibadah dan menciptakan ruang untuk dialog antara berbagai agama dan keyakinan, menjadi semakin mendesak.
Dengan latar belakang geopolitik yang kompleks, rencana Menteri Ben-Gvir menunjukkan tantangan besar yang harus dihadapi untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan ini, dan memberi tekanan lebih pada perlunya kerjasama internasional untuk mengatasi isu yang sangat sensitif ini.