Teknologi

Respons Kemenkominfo: Frekuensi Hips FTS Airbus-MTEL Ganggu Sinyal Satelit Satria-1?

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memberikan tanggapan resmi terkait isu terkait frekuensi teknologi Flying Tower System (FTS) dari Airbus dan Mitratel (MTEL), di tengah kekhawatiran mengenai potensi gangguan sinyal dari satelit multifungsi Satria-1. Dalam pernyataannya, Direktur Penataan Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika, Denny Setiawan menyatakan bahwa hingga kini, belum ada bukti otentik yang menunjukkan adanya interferensi dari frekuensi Hips atau FTS terhadap layanan eksisting.

Teknologi HAPS dan HIBS merupakan dua konsep yang sering disamakan tetapi memiliki perbedaan mendasar. HAPS (High Altitude Platform Station) ditujukan untuk komunikasi titik ke titik antara dua lokasi stasiun radio yang bersifat tetap, sedangkan HIBS (HAPS as IMT Base Station) lebih berfokus pada penyediaan layanan langsung kepada pengguna. Inilah yang mengarah pada penggunaan istilah "BTS Terbang" untuk HIBS. Denny menjelaskan bahwa karena karakteristik frekuensi yang digunakan oleh HIBS identik dengan yang digunakan oleh BTS darat, tidak ada masalah dalam hal interferensi dengan layanan Satria-1.

Lebih lanjut, Denny menjelaskan bahwa penggunaan frekuensi HIBS telah diatur dalam sejumlah regulasi yang ada. Hal ini bukan hanya untuk menjaga kenyamanan pengguna, tetapi juga untuk memberikan kepastian hukum bagi operator seluler yang ingin berkolaborasi dengan penyedia solusi teknologi HIBS. Namun, perlu diinformasikan bahwa saat ini belum ada regulasi spesifik yang mengatur model bisnis dan kerja sama antara operator seluler serta penyedia teknologi HIBS.

Salah satu hal penting yang dicatat adalah ketika membahas hubungan antara HAPS dan Satria-1. Meskipun ada kesamaan frekuensi, Denny menegaskan bahwa telah ada ketentuan mengenai pembagian penggunaan frekuensi dalam regulasi radio untuk memastikan kedua teknologi ini dapat beroperasi tanpa saling mengganggu.

Dalam konteks regulasi internasional, World Radiocommunication Conference (WRC) 2023 telah mengizinkan penerapan HAPS di Indonesia dengan penetapan empat frekuensi: 900 MHz, 1800 MHz, 2,1 GHz, dan 2,6 GHz. Denny menjelaskan bahwa Indonesia tercatat sebagai negara yang mengidentifikasi frekuensi 700 MHz dan 900 MHz untuk mendukung HIBS, sehingga tidak semua negara di kawasan ini memiliki komitmen serupa. Hal ini memberikan Indonesia sebuah keunggulan dalam penerapan teknologi baru ini.

Selain itu, Denny juga menjelaskan bahwa regulasi untuk infrastructure sharing dan spectrum sharing telah terbuka sejak diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran. Ini menciptakan peluang bagi operator seluler untuk melakukan kolaborasi yang lebih erat dengan penyedia teknologi.

Dari segi teknis, BTS terbang yang beroperasi dalam HIBS diusulkan dapat menjadi solusi optimal untuk daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau jaringan telekomunikasi konvensional. Dosen Teknik Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung, Ian Josef Matheus Edward, mencatat bahwa meskipun HIBS menjanjikan peningkatan konektivitas di area rural, penting bagi pemerintah dan Mitratel untuk melakukan uji coba tertutup guna memastikan tidak ada gangguan terhadap sinyal yang ada.

Demikian, Ian menegaskan bahwa frekuensi yang telah diidentifikasi untuk HIBS harus diuji coba dengan ketat dan memastikan bahwa implementasinya berjalan sesuai rencana tanpa menyebabkan intervensi kepada sistem eksisting. Dengan pendekatan uji coba yang baik, diharapkan bahwa potensi gangguan frekuensi dapat diminimalisir.

Kemenkominfo, melalui Denny Setiawan, menyatakan optimisme mengenai hasil sidang WRC-23 dan pengaturan frekuensi yang dapat memberikan manfaat besar terutama dalam meningkatkan aksesibilitas komunikasi di berbagai titik di Indonesia. Usaha untuk mengoptimalkan jaringan HIBS ini diharapkan dapat membawa dampak positif yang signifikan dalam penyebaran teknologi informasi dan komunikasi di wilayah-wilayah yang sebelumnya terpinggirkan.

Seiring dengan perkembangan teknologi, adaptasi kebijakan dan regulasi menjadi sangat penting. Setiap langkah yang diambil harus dilakukan dengan pertimbangan mendalam untuk menjamin bahwa teknologi yang diperkenalkan tidak hanya efektif tetapi juga berkelanjutan. Ke depannya, kolaborasi antara pemerintah, operator seluler, dan penyedia teknologi akan menjadi kunci untuk mencapai tujuan ini, sehingga bisa menghadirkan manfaat yang luas bagi masyarakat, terutama dalam hal aksesibilitas dan konektivitas.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button