Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono, baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah tampil di Amerika Serikat. Pasangan ini terlihat menikmati kehidupan mereka di negeri Paman Sam, namun gaya hidup yang dipamerkan Erina justru memicu reaksi negatif dari warganet. Banyak yang mengaitkan perilaku Erina dengan sosok Ratu Prancis abad ke-18, Marie Antoinette, yang dikenal karena kehidupannya yang glamor di tengah kesulitan yang dialami rakyatnya.
Erina, yang saat ini menempuh pendidikan S2 di University of Pennsylvania berkat beasiswa yang didapat, terlihat membagikan berbagai momen liburan dan persiapannya melalui akun media sosialnya. Namun, apa yang seharusnya menjadi pembaruan positif malah berbalik menjadi kritik ketika Erina dan Kaesang diketahui terbang ke AS menggunakan jet pribadi. Foto jendela yang diunggah Erina mengungkapkan kemewahan perjalanan ini, membuat banyak orang meragukan empatinya di tengah situasi di Indonesia yang saat ini sedang memanas.
Kritikan semakin bertambah ketika Erina memamerkan barang-barang mewah, termasuk kereta dorong bayi yang harganya mencapai Rp30 juta. Gaya hidup mewah di tengah kesulitan yang dihadapi masyarakat dianggap mencolok dan tidak sensitif. Banyak netizen yang menyebutnya sebagai “Marie Antoinette Coded,” menandakan bahwa mereka melihat sikap Erina sebagai cerminan dari ketidakpekaan sosial yang ditunjukkan oleh Ratu Prancis tersebut.
Marie Antoinette, yang dikenal sebagai ratu terakhir Prancis, hidup dalam kemewahan saat rakyatnya menghadapi kelaparan dan kesengsaraan. Sikap acuh tak acuhnya terhadap penderitaan rakyat pun berkontribusi pada semakin besarnya ketidakpuasan yang memuncak dalam Revolusi Prancis. Kehidupan Marie Antoinette berakhir tragis, ketika ia dihukum mati dengan cara yang sangat brutal, yaitu dipenggal dengan guillotine setelah dituduh melakukan pengkhianatan.
Persamaan antara Erina dan Marie Antoinette tak bisa diabaikan. Keduanya diikat oleh konteks sosial dan politik yang mirip, meskipun dalam jarak waktu yang sangat berbeda. Pertama, keduanya terikat oleh pernikahan politik. Marie Antoinette menikah dengan putera mahkota Austria, sedangkan Erina adalah menantu Presiden Joko Widodo. Pernikahan ini sering kali dipandang sebagai simbol kekuatan dan pengaruh dua keluarga besar di masing-masing era.
Kedua, baik Erina maupun Marie Antoinette adalah pusat perhatian media. Setiap langkah yang diambil oleh keduanya selalu menjadi bahan pemberitaan. Erina, dengan statusnya sebagai istri presiden, mengundang perhatian luas setelah pernikahannya. Di sisi lain, Marie Antoinette menjadi sorotan sejak kedatangannya ke Prancis sebagai putri kerajaan.
Yang ketiga, keduanya mendapat kritik publik atas gaya hidup mereka. Pada masa hidup Marie Antoinette, ia sering kali dikritik karena pengeluarannya yang boros di tengah beragam kesulitan sosial. Sementara, Erina mengalami ironi yang sama di era digital ini, di mana setiap unggahan di media sosialnya dijadikan sasaran kritik akibat penampilannya yang glamor dan cenderung pamer harta.
Namun, penting untuk mencatat bahwa perbandingan ini mungkin bersifat hiperbolik dan perlu disikapi dengan hati-hati. Kritikan terhadap Erina tidak sampai pada tingkat yang mengancam keselamatannya, seperti yang dialami Marie Antoinette. Namun, situasi ini mempertanyakan bagaimana seharusnya seorang publik figur bersikap di tengah isu sosial yang sensitif. Erina yang selama ini dikenal sebagai mantan Puteri Indonesia dan memiliki panggung besar dalam dunia publik harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kehidupan glamornya di luar negeri tidak mendapat penerimaan yang positif dari masyarakat.
Melihat kembali perjalanan hidup Marie Antoinette, kita belajar bahwa hidup dalam kemewahan bisa saja mengundang kecaman yang serius jika tidak diimbangi dengan kepedulian kepada kondisi sosial di sekitar. Terakhir kali, ketika rakyat Prancis mengalami ketidakadilan sosial yang parah, respons Marie Antoinette untuk tidak melihat permasalahan tersebut berujung pada kemarahan rakyat yang fatal.
Era digital menyajikan tantangan tersendiri bagi publik figur modern. Setiap tindakan dan ucapan mereka dapat langsung dikritisi dan dibahas di dunia maya. Gaya hidup glamor Erina dianggap tidak sensitif di saat negara mengalami protes sosial, dan situasi ini menjadi pelajaran penting bagi siapa pun yang berada di posisi publik. Keterhubungan antara kehidupan pribadi dan tanggung jawab sosial seharusnya menjadi perhatian utama, agar publik figur tidak hanya tumbuh dalam popularitas tetapi juga dalam kesadaran sosial.
Kedepannya, mungkin Erina dapat lebih peka terhadap situasi yang terjadi di masyarakat Indonesia dan membuat keputusan yang lebih bijaksana dalam menampilkan gaya hidupnya. Hal ini bukan hanya demi citranya, tetapi demi tanggung jawabnya sebagai publik figur dan menantu presiden yang memiliki pengaruh besar di masyarakat.