Politisi muda Partai Solidaritas Indonesia (PSI), William Aditya Sarana, tengah menjadi sorotan publik setelah mendapatkan kritik tajam dari Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Ali Abdillah. Ketidakpuasan Ali terhadap William muncul lantaran pernyataan sang politisi mengenai posisi DPR RI dalam menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait peraturan Pilkada. Melalui cuitan di media sosial, William menyatakan bahwa DPR tidak perlu mengikuti putusan MK, menegaskan bahwa keduanya adalah lembaga tinggi negara yang sama-sama memahami konstitusi.
Pernyataan ini langsung menarik perhatian berbagai pihak, terutama Ali Abdillah yang merasa menyesal telah meluluskan William dalam ujian skripsi. Dalam sebuah cuitan yang viral, Ali dengan nada sindiran menyatakan, “Emang paling bener waktu sidang skripsi nggak gua lulusin ni bocah.” Kritikan tersebut kemudian memicu diskusi publik mengenai kualitas lulusan pendidikan tinggi dan tanggung jawab intelektual seorang politisi.
William Aditya Sarana, yang juga dikenal sebagai politisi muda yang memiliki latar belakang akademis yang baik, merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Dalam konteks ini, penting untuk menyoroti bahwa ketika William menempuh pendidikan di FH UI, ia berada di bawah pengajaran Ali Abdillah, yang merupakan seorang dosen senior di universitas tersebut. Meski saat ini menimbulkan kekecewaan, William diketahui sebagai mahasiswa berprestasi dengan segudang pengalaman organisasi selama masa studinya.
Selama di kampus, William aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan, termasuk menjabat sebagai Sekretaris Bidang Penelitian di Lembaga Kajian Keilmuan FH UI, dan pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia (MMUI), sebuah lembaga yang mengawasi fungsi peradilan di kalangan mahasiswa. Keaktifannya dalam organisasi ini menunjukkan dedikasi dan kepemimpinan yang dimiliki oleh William, meskipun kontroversi saat ini merusak citra tersebut.
Belum lama ini, William juga sukses menjuarai beberapa kompetisi akademik, termasuk menjadi Juara 1 di Program Kreativitas Mahasiswa FH UI. Selain itu, ia berhasil menduduki posisi Juara 3 dalam Constitutional Drafting UUD 1945 yang dihelat oleh MPR RI. Karya tulisnya yang berjudul “Moral Limits of Dual Citizenship” bahkan dipublikasikan di Journal Indonesia Student Association for International Studies (ISAFIS), dan penelitian terkait “Konstitusionalitas Ikut Sertanya Indonesia dalam Trans Pacific Partnership” dimuat dalam Juris Journal, Universitas Indonesia.
Dengan latar belakang akademis yang mumpuni, William terpilih menjadi anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta di usia yang relatif muda, yakni 28 tahun, setelah meraih 12.295 suara dalam pemilihan. Keberhasilan tersebut menjadi bukti bahwa meskipun saat ini menghadapi kritik tajam dari dosennya, perjalanan karier politiknya masih menunjukkan tanda-tanda positif di kancah legislatif.
Namun, penilaian negatif dari Ali Abdillah mencerminkan tantangan yang harus dihadapi oleh para politisi muda, terutama yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Mereka dituntut untuk tidak hanya memiliki pemahaman akademis yang baik tetapi juga harus mampu menerapkannya dalam dunia nyata, terutama dalam dilema politik dan hukum yang kompleks. Konteks ini menciptakan diskusi penting mengenai tanggung jawab moral dan etika seorang politisi, serta bagaimana pendidikan tinggi berperan dalam membentuk karakter dan pandangan politik mereka.
Situasi ini juga menyoroti pentingnya peran dosen dan institusi pendidikan dalam menghasilkan lulusan yang tidak hanya berprestasi di bidang akademis tetapi juga memiliki integritas dan komitmen terhadap nilai-nilai yang baik. Terdapat harapan bahwa kampus tidak hanya menjadi tempat untuk mendapatkan gelar akademis tetapi juga pembinaan karakter yang kuat agar dapat menghadapi tantangan zaman.
Kritik dari Ali Abdillah kepada William menunjukkan kekhawatiran tentang kualitas pendidikan dan dampaknya terhadap dunia politik, yang sering kali dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Ketika seorang dosen menyatakan penyesalan telah meluluskan mahasiswanya, ini menjadi sinyal bahwa ada masalah yang perlu dibahas terkait pendidikan dan relevansinya dengan kenyataan di lapangan.
William Aditya Sarana barangkali harus merenungkan kembali pandangan dan pernyataannya yang dianggap kontroversial, serta berusaha memperbaiki diri untuk mengembalikan kepercayaan yang diberikan kepadanya sebagai pemimpin muda. Melihat dari jalur pendidikan yang ia jalani, semoga ia bisa mengaitkan ilmu yang didapat dengan realitas politik agar dapat memberikan kontribusi yang lebih signifikan serta memahami implikasi dari setiap kebijakan yang diambil.
Setelah semua ini, publik masih menunggu langkah-langkah konkret dari William untuk memperbaiki citranya dan membuktikan bahwa lulusan Universitas Indonesia, termasuk dirinya, dapat berkontribusi positif dalam upaya pembangunan bangsa. Diplomasinya dengan kritik dan saran membangun sangat diperlukan agar tidak hanya menjadi retorika, tetapi manfaat nyata bagi masyarakat yang diwakilinya.