Jakarta – Mahkamah Agung (MA) diharapkan menolak permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani H Maming, seiring dengan penilaian bahwa PK tersebut layak ditolak. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, mengungkapkan, "Memang layaknya ditolak, karena memori PK yang diajukan Mardani H Maming hanya mengulang-ulang cerita lama yang sudah dibahas dalam sidang-sidang sebelumnya." Pernyataan tersebut disampaikan dalam konferensi pers pada Selasa, 27 Agustus 2024.
Mardani H Maming saat ini tercatat sebagai terpidana dalam kasus korupsi Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang merugikan negara sebesar Rp104,3 miliar selama periode 2014-2020. Dalam permohonan PK resminya, dia mengklaim adanya kekhilafan dari majelis hakim pada putusan terkait kasus tersebut. Tidak ada bukti kuat yang mendukung klaim kekhilafan tersebut, seperti yang dinyatakan oleh Jaksa KPK Greafik Lioserte.
Greafik menegaskan, "Kami berkesimpulan tidak terdapat satu pun alasan yang dijadikan sebuah dasar untuk menyatakan bahwa putusan hakim telah terdapat kekhilafan. Baik putusan majelis di tingkat pertama, banding maupun kasasi." Pernyataan ini mencerminkan sikap tegas KPK dalam mengawal proses hukum yang dilakukan terhadap Mardani H Maming.
PK yang diajukan Mardani, menurut Greafik, juga didasarkan pada pertentangan dalam Permohonan Peninjauan Kembali (PKPU), yang dianggap sangat lemah. "Majelis hakim tidak terikat dengan perkara sebelumnya," tambahnya. Terkait keterangan ahli yang dihadirkan dalam persidangan, Greafik yakin bahwa kesaksian tersebut tidak cukup meyakinkan untuk membuktikan adanya kekhilafan nyata dalam putusan korupsi yang dikenakan kepada Mardani.
Kekhawatiran akan pengulangan kisah lama dalam PK ini turut disampaikan oleh Orin Gusta Andini, Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (Saksi) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman. Orin menjelaskan bahwa meskipun undang-undang memberikan kesempatan bagi terpidana untuk mengajukan PK dengan alasan kekhilafan, hal tersebut tidak seharusnya mengubah substansi dari putusan sebelumnya. "Yang penting, putusan PK tidak memberikan keputusan yang menegasikan (menyangkal) putusan sebelumnya," tegasnya.
Satu hal yang patut dicermati dalam pengajuan PK ini adalah kemampuan finansial Mardani H Maming. Menurut Orin, keberanian Mardani untuk mengajukan PK menunjukkan bahwa dia masih memiliki kekayaan yang cukup. "Koruptor yang mengajukan PK, secara tidak langsung menunjukkan bahwa kemampuan finansialnya masih memadai. Sehingga dia berani maju sampai PK. Bisa disimpulkan uang masih banyak, masih kaya," ungkap Orin.
Melihat konteks kasus ini, penting untuk memperhatikan dampak yang lebih luas dari kasus korupsi yang melibatkan tokoh politik. Korupsi di sektor pertambangan, khususnya dalam konteks IUP, memiliki implikasi yang signifikan terhadap ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi seperti Mardani H Maming diharapkan dapat memberikan efek jera bagi calon pelanggar hukum lainnya.
Sejauh ini, kasus Mardani H Maming telah melalui berbagai tingkat pengadilan, dan putusan terakhir memberikan hukuman penjara selama 12 tahun serta kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp110 miliar. Dengan adanya pengajuan PK ini, tindakan MA untuk menolak permohonan tersebut akan memperlihatkan keseriusan lembaga peradilan dalam memberantas korupsi dan ketidakadilan.
Tak dapat dipungkiri bahwa masalah korupsi di Indonesia terus menjadi perhatian masyarakat. Berkaca pada kasus Mardani H Maming, diharapkan masyarakat lebih berani untuk bersuara dan melaporkan tindakan korupsi yang terjadi di sekitarnya. Partisipasi aktif masyarakat akan memperkuat upaya pemerintah dan lembaga penegak hukum dalam memberantas praktek-praktek korupsi yang merugikan negara.
Pentingnya integritas dalam jabatan publik patut menjadi catatan bagi para pemangku kebijakan. Kasus ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa setiap tindakan korupsi, berapapun besar atau kecilnya, akan memiliki konsekuensi yang tidak hanya berimbas pada individu pelakunya tetapi juga seluruh masyarakat.
Di kalangan aktivis anti korupsi dan akademisi, konsensus terlihat bahwa penguatan hukum dan pendidikan anti korupsi perlu ditingkatkan untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari korupsi. Upaya ini tidak hanya membutuhkan dukungan lembaga hukum, tetapi juga komitmen semua pihak untuk menjaga integritas dan kejujuran dalam setiap aspek kehidupan.
Seperti yang ditegaskan Boyamin Saiman, "Kami meminta Mahkamah Agung RI yang memeriksanya dan mengadili perkara PK untuk menguatkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan telah dieksekusi, dan menolak permohonan PK yang diajukan oleh pemohon." Pernyataan ini menandakan bahwa harapan akan penegakan hukum yang adil memang masih ada, dan perlu diperkuat oleh semua elemen masyarakat.
Melalui sorotan terhadap kasus ini, diharapkan masyarakat semakin peka terhadap isu-isu hukum dan korupsi, serta aktif dalam memperjuangkan transparansi dan akuntabilitas di dalam pemerintahan. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan Indonesia yang lebih bersih dan berkeadilan bagi generasi mendatang.