Dalam menghadapi permasalahan kemacetan yang semakin parah, Jakarta membutuhkan langkah-langkah serius dan komprehensif dalam pembenahan transportasi publik. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari pengembangan Mass Rapid Transit (MRT), Light Rail Transit (LRT), hingga sistem bus TransJakarta, namun masalah kemacetan yang terus berlanjut menunjukkan bahwa solusi yang ada kurang cukup.
Calon Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, menekankan pentingnya integrasi transportasi, yang tidak hanya mencakup Jakarta, tetapi juga melingkupi daerah penyangga di Jabodetabek dan bahkan hingga wilayah Jawa Barat seperti Cianjur dan Sukabumi. Dengan sistem transportasi yang terintegrasi, diharapkan masyarakat yang bekerja di Jakarta namun tinggal di daerah penyangga dapat bergerak dengan lebih mudah. Namun, Pramono juga mengingatkan bahwa masalah kemacetan harus mendapatkan perhatian utama sebelum integrasi dilakukan.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menekankan perlunya pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi. Menurutnya, tanpa adanya kebijakan pembatasan yang tegas, upaya memperbaiki transportasi umum tidak akan berhasil. Tulus merekomendasikan penerapan sistem pembatasan kepemilikan kendaraan di Jakarta, serupa dengan apa yang diterapkan di Singapura. "Jika tidak berani melakukan hal itu, kata Tulus, "Jangan mimpi untuk mengatasi kemacetan Jakarta, karena Jakarta akan menjadi lautan kendaraan pribadi."
Data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta menunjukkan bahwa jumlah kendaraan bermotor di Jakarta meningkat secara signifikan, dengan pertumbuhan sekitar 5% per tahun. Pada tahun 2023, lebih dari 20 juta kendaraan beroperasi di wilayah Jabodetabek, yang jelas jauh melebihi kapasitas infrastruktur jalan yang ada. Ini menjadi salah satu penyebab utama kemacetan yang semakin parah di berbagai titik di Jakarta.
Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, menekankan bahwa tindakan pembatasan kendaraan pribadi tidak dapat dihindari jika ingin mengurangi kemacetan secara signifikan. Di samping itu, langkah yang sedang dipertimbangkan adalah penerapan Electronic Road Pricing (ERP) untuk memberikan insentif bagi pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan transportasi publik. Namun, ERP perlu didukung dengan sistem transportasi publik yang efisien dan terintegrasi.
Saat ini, meskipun MRT dan LRT telah beroperasi, kapasitas dan jangkauan keduanya masih terbatas. Data dari PT MRT Jakarta mengungkapkan bahwa pada 2023, rata-rata penumpang MRT hanya mencapai 100.000 orang per hari, jauh di bawah kapasitas ideal. Sementara itu, LRT yang baru saja diluncurkan masih dalam tahap pengembangan dan belum sepenuhnya terhubung dengan moda transportasi lain.
TransJakarta, sebagai tulang punggung transportasi publik, juga menghadapi tantangan. Meskipun terdapat lebih dari 2.000 armada bus, jalur busway sering diserobot oleh kendaraan pribadi, menyebabkan kemacetan yang mengganggu operasional. Untuk menciptakan sistem transportasi publik yang menarik, calon gubernur diharapkan memastikan TransJakarta, MRT, dan LRT berfungsi dengan baik dan terintegrasi tanpa gangguan.
Pengembangan kawasan Transit Oriented Development (TOD) menjadi salah satu solusi yang diusulkan. Dengan menempatkan pusat permukiman, perkantoran, dan fasilitas komersial di sekitar stasiun atau halte transportasi publik, diharapkan lebih banyak masyarakat beralih menggunakan transportasi umum daripada kendaraan pribadi.
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah perilaku masyarakat yang masih enggan meninggalkan kendaraan pribadi meskipun alternatif transportasi umum sudah ada. Survei oleh Jakarta Transport Watch pada tahun 2023 menunjukkan bahwa 60% warga Jakarta lebih memilih mobil atau motor karena alasan kenyamanan dan fleksibilitas.
Untuk itu, edukasi publik mengenai pentingnya penggunaan transportasi umum sangat penting. Calon gubernur diharapkan juga memberikan subsidi dan insentif bagi pengguna transportasi publik sebagai cara untuk mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi.
Para pemimpin Jakarta ke depan harus memprioritaskan kebijakan berkelanjutan dengan tidak hanya menambah jalan atau flyover yang justru akan memperparah kemacetan. Solusi jangka panjang yang diperlukan adalah memperbaiki dan memperluas transportasi umum sembari memperketat aturan tentang kendaraan pribadi.
Kendaraan pribadi yang tidak terkendali berkontribusi pada polusi udara yang semakin memburuk, bahkan Jakarta tercatat dalam peringkat sepuluh besar kota dengan polusi terburuk di dunia menurut IQAir. Artinya, pembenahan transportasi juga berkaitan erat dengan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Kebijakan pembatasan kendaraan dapat diterapkan melalui pengaturan yang lebih ketat, seperti memperluas pembatasan plat nomor ganjil-genap serta memperpanjang jam operasional.
Dalam konteks ini, penting untuk menciptakan transportasi publik yang nyaman dan terjangkau agar kebijakan pembatasan kendaraan dapat berjalan efektif. Jakarta, sebagai ibukota yang padat, perlu langkah-langkah berani dan inovatif untuk menciptakan sistem transportasi yang tidak hanya mengatasi kemacetan, tetapi juga mendukung kualitas hidup warganya.