Keamanan digital menjadi isu krusial dalam era transisi ke pembayaran cashless, khususnya dalam konteks penggunaan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) di Indonesia. Dalam sebuah diskusi yang melibatkan pengurus Asosiasi Pengrajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) dan PT Trans Digital Cemerlang, pentingnya peningkatan keamanan digital menjadi sorotan utama. Ahmad Filasuf, pengurus APPBI, menekankan bahwa kepercayaan antara pedagang dan sistem pembayaran sangatlah vital untuk meningkatkan adopsi QRIS di kalangan pengusaha batik.
Pengalaman buruk Filasuf ketika menjadi korban penipuan menjadi penanda bahwa keamanan dalam bertransaksi digital masih rentan. "QRIS atau pembayaran digital disalahgunakan oleh orang jahat. Mereka berpura-pura sudah transfer atau scan barcode QRIS, namun setelah dicek ternyata tidak masuk ke rekening," ujarnya. Fenomena ini menunjukkan betapa penipuan digital semakin marak, dan pentingnya pengawasan ketat dalam menangani alat pembayaran yang berbasis teknologi.
Lebih lanjut, Filasuf juga menyoroti masalah lain yang dihadapi para pedagang, yakni kualitas jaringan internet yang seringkali menjadi hambatan dalam proses transaksi. "Para pedagang batik di daerah berharap adanya peningkatan kualitas jaringan internet. Ini akan mempermudah transaksi yang cepat dan efektif," tambahnya. Digitalisasi di sektor UMKM, terutama usaha batik, semakin meluas, dengan lebih dari 90 persen pengusaha kini memanfaatkan QRIS atau mesin EDC (Electronic Data Capture) dalam bertransaksi.
Di sisi lain, Indra, Direktur Utama PT TDC, memberi penekanan pada langkah-langkah yang perlu diambil untuk meminimalisir risiko penipuan. Ia menyebutkan pentingnya kriteria perusahaan yang menyediakan layanan aplikasi QRIS, mengingat standar internasional seperti ISO 9001:2015 tentang Manajemen Mutu dan ISO 27001:2022 tentang Sistem Keamanan Informasi harus dipenuhi. “Perusahaan yang melakukan pendampingan dan konsultasi keuangan digital harus memiliki standar tersebut,” katanya.
Indra juga memperkenalkan ide untuk meningkatkan keamanan dalam proses transaksi. Ia mencontohkan sistem yang diterapkan oleh produknya, Poskulite, di mana QRIS akan dinonaktifkan jika tidak ada transaksi dalam waktu dua menit. Ini adalah langkah proaktif untuk menghindari penyalahgunaan yang lebih luas.
Edukasi menjadi kunci dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya melakukan transaksi yang aman. Indra menjelaskan bahwa “pemahaman yang komprehensif dan edukasi yang massif harus melibatkan semua pihak.” Upaya edukasi yang dilakukan oleh Poskulite dengan menggandeng berbagai komunitas seperti Tamado Grup dan IKAPPI bertujuan untuk mengurangi ketakutan masyarakat terhadap penggunaan aplikasi digital untuk transaksi.
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Filianingsih Hendarta, juga menekankan pentingnya sosialisasi terkait keamanan penggunaan QRIS. “Pedagang harus memastikan QRIS dalam pengawasannya. Jangan sampai barcodenya ditaruh sembarangan,” sarannya. Hal ini menunjukkan bahwa keamanan bukan hanya tanggung jawab penyedia layanan, tetapi juga merchant yang harus proaktif dalam menjaga kode QR mereka.
Filianingsih juga mengingatkan kepada pengguna QRIS untuk selalu melakukan pengecekan status setelah melakukan pembayaran. "Pengguna harus mendapatkan notifikasi setelah transaksi untuk memastikan bahwa pembayaran sudah berhasil,” ungkapnya. Ini menjadi langkah preventif yang bisa diambil oleh pengguna untuk mencegah kerugian yang lebih besar akibat penipuan.
Keberadaan QRIS memberikan kemudahan bagi pelaku UMKM, khususnya pengrajin batik di Indonesia, untuk memasarkan produk mereka secara lebih luas. Meskipun digitalisasi membuat proses transaksi menjadi lebih efisien, tantangan keamanan tetap ada. Oleh karena itu, semua pihak harus saling berkolaborasi untuk meningkatkan keamanan dalam transaksi yang berbasis QRIS.
Dalam konteks yang lebih luas, perubahan perilaku masyarakat menuju sistem pembayaran digital harus diimbangi dengan pemahaman dan kesiapan dalam menangani potensi risiko yang muncul. Penipuan digital bukan hanya menjadi tanggung jawab penyedia teknologi, tetapi juga edukasi dan budaya kewaspadaan dari para pengguna.
Langkah berkelanjutan dalam menyosialisasikan keamanan transaksi digital harus terus dilakukan, tidak hanya oleh bank dan lembaga resmi, tetapi juga oleh komunitas dan asosiasi usaha. Dengan demikian, kesadaran akan risiko penipuan dapat dibangun sejak dini di antara para pelaku usaha dan masyarakat.
Pengembangan teknologi pembayaran seperti QRIS harus diikuti dengan penanganan keamanan yang serius. Penelitian dan pengembangan dalam sistem keamanan informasi pun semakin diperlukan untuk menciptakan ekosistem pembayaran digital yang lebih aman dan nyaman. Oleh karena itu, semua pihak, mulai dari pemerintah hingga pelaku usaha, diharapkan dapat berkontribusi dalam menciptakan keamanan digital yang lebih baik untuk semua.