Pemerintah Indonesia berencana untuk melarang penjualan mobil baru yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) atau yang dikenal dengan istilah internal combustion engine (ICE) pada tahun 2045. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mendorong adopsi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) dan mencapai target netralitas emisi pada tahun 2060. Namun, keputusan ini membawa dampak yang signifikan bagi industri otomotif, terutama bagi produsen mobil terkemuka seperti PT Toyota Astra Motor (TAM), yang telah menggelontorkan investasi besar di sektor ICE.
Menurut Marketing Director PT Toyota Astra Motor, Anton Jimmi Suwandy, meskipun wacana pelarangan ini telah muncul di berbagai negara, ia menilai bahwa Indonesia masih memerlukan waktu yang cukup lama untuk beralih sepenuhnya ke kendaraan listrik. Data terbaru menunjukkan bahwa hingga Juli 2024, penetrasi kendaraan elektrifikasi, termasuk Hybrid Electric Vehicle (HEV), Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV), dan Battery Electric Vehicle (BEV), masih berada di angka sekitar 12%. Angka tersebut mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam mengubah pola konsumsi kendaraan di Indonesia menuju era elektrifikasi.
Strategi yang diambil oleh Toyota saat ini adalah melalui pendekatan multi-pathway strategy yang bertujuan untuk mencapai netralitas karbon. Pendekatan ini memungkinkan berbagai pihak untuk berpartisipasi dalam upaya mengurangi emisi karbondioksida, dengan mempertimbangkan ragam kebutuhan mobilitas konsumen yang beragam. Anton menekankan perlunya mempelajari kombinasi teknologi, termasuk HEV, PHEV, BEV, serta sumber energi lainnya seperti flexy fuel dan hidrogen, terutama untuk segmen mobil yang lebih kecil dan kendaraan komersial.
Di tingkat global, Toyota telah menetapkan target net zero emissions pada tahun 2050. Namun, di Indonesia, perusahaan ini masih fokus pada investasi di segmen ICE yang telah berjalan selama lebih dari lima dekade. Meskipun ada pergeseran menuju elektrifikasi, Anton menyatakan bahwa perubahan ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk terwujud, mengingat kontribusi industri otomotif terhadap perekonomian nasional juga cukup signifikan.
Di balik rencana pemerintah untuk melarang penjualan mobil ICE, rencana tersebut sedang dikaji secara mendalam oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Menurut Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin, mekanisme kebijakan untuk larangan tersebut masih dalam proses perumusan. Ia menjelaskan bahwa Indonesia harus mulai berbenah agar dapat mencapai target netralitas emisi pada tahun 2060 atau lebih cepat, yaitu dengan menghentikan penjualan kendaraan bermesin pembakaran dalam 15 tahun sebelum target tersebut.
Oleh karena itu, Rachmat menegaskan bahwa paling lambat pada tahun 2045, semua kendaraan baru yang dijual di Indonesia harus termasuk dalam kategori zero emission vehicle atau kendaraan yang bebas emisi. Rancangan strategi dan roadmap terkait sektor otomotif ini pun melibatkan banyak kementerian dan lembaga terkait, termasuk Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), serta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. Hal ini menunjukkan bahwa langkah menuju elektrifikasi tidak hanya menjadi tanggung jawab satu instansi, tetapi harus dilakukan secara kolektif.
Menyikapi rencana pemerintah, pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana nasib investasi besar yang telah ditanamkan oleh Toyota di sektor ICE. Dalam hal ini, Anton Jimmi Suwandy memastikan bahwa perusahaan tetap berkomitmen untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Meskipun investasi di sektor ICE sudah terlanjur dilakukan, langkah menuju elektrifikasi akan dilakukan secara bertahap dan dengan perencanaan yang matang.
Menurut Anton, industri otomotif, termasuk Toyota, harus dapat bertransformasi dengan baik dan mempersiapkan diri menghadapi perubahan di masa depan. Hal ini mencakup tidak hanya perubahan teknologi, tetapi juga penyesuaian pada rantai pasok dan ekosistem industri otomotif itu sendiri. Dengan demikian, langkah ke arah elektrifikasi bukanlah sekadar melarang mobil berbahan bakar fosil, tetapi juga menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan kendaraan listrik di seluruh aspek industri.
Seiring dengan implementasi kebijakan tersebut, pemerintah juga perlu memperhatikan aspek infrastruktur penunjang, seperti pengembangan jaringan pengisian daya untuk kendaraan listrik serta insentif bagi produsen dan konsumen. Kesiapan infrastruktur ini akan menjadi kunci dalam mendorong masyarakat untuk beralih menggunakan kendaraan listrik.
Dengan demikian, rencana pelarangan penjualan mobil berbasis BBM yang ditargetkan akan diterapkan pada tahun 2045 merupakan langkah strategis yang kompleks dan memerlukan persiapan matang dari semua pihak terkait. Industri otomotif, khususnya produsen besar seperti Toyota, dituntut untuk beradaptasi dan berinovasi agar dapat tetap berkontribusi signifikan dalam perekonomian nasional sambil mendukung agenda keberlanjutan dan pengurangan emisi di Indonesia.