Lemahnya penjualan kendaraan listrik di Thailand telah memicu seruan dari kelompok produsen utama untuk memperpanjang batas waktu dalam skema insentif yang dicanangkan pemerintah. Meskipun Thailand telah menarik investasi signifikan dalam industri kendaraan listrik melalui skema ini, tantangan dalam penjualan telah memaksa para produsen untuk mencari solusi agar dapat memenuhi target produksi yang ditetapkan.
Asosiasi Kendaraan Listrik Thailand (EVAT), yang merupakan perwakilan dari berbagai produsen kendaraan listrik termasuk perusahaan besar dari Tiongkok dan Jepang, telah meminta pemerintah untuk memberikan lebih banyak waktu. Hal ini terkait dengan skema insentif utama yang mendukung pengembangan industri kendaraan listrik di Thailand. Presiden EVAT, Suroj Sangsnit, menyampaikan harapannya untuk dapat bernegosiasi dengan pemerintah guna memperpanjang batas waktu produksi. “Kami tengah berupaya bernegosiasi, memperpanjang sedikit tanggal produksi,” ungkapnya dalam sebuah konferensi pers.
Skema insentif yang dikenal sebagai Rencana EV 3.0 mewajibkan perusahaan yang menikmati keringanan pajak dan dukungan lainnya untuk memproduksi di Thailand dalam tahun ini jumlah kendaraan yang setara dengan jumlah kendaraan yang mereka impor antara tahun 2022 hingga 2023. Menghadapi tenggat waktu yang ketat, kelompok produsen kini dihadapkan pada tantangan yang semakin berat, terutama karena tahun depan mereka akan diwajibkan untuk memproduksi 1,5 kendaraan untuk setiap kendaraan yang diimpor.
Penjualan kendaraan listrik di Thailand tercatat hanya mencapai 43 ribu unit pada tahun ini, jauh dari harapan EVAT yang menargetkan seratus ribu unit. Penurunan penjualan ini mencerminkan masalah yang lebih luas dalam industri otomotif negara tersebut, di mana total produksi mobil justru mengalami kontraksi sebesar 17,28 persen dalam tujuh bulan pertama tahun 2024. Produksi kendaraan yang menurun menjadi 886.069 unit menunjukkan betapa seriusnya keadaan pasar saat ini.
Masalah yang dihadapi industri kendaraan listrik tidak lepas dari pengetatan persyaratan pinjaman oleh bank-bank di Thailand. Suroj menjelaskan bahwa banyak bank tidak bersedia memberikan pinjaman untuk kendaraan listrik yang diliputi oleh ketidakpastian harga. Diskon besar yang diberikan untuk kendaraan listrik meningkatkan kekhawatiran bank akan risiko pinjaman yang mereka berikan. Kondisi ekonomi yang lambat, ditambah dengan tingginya utang rumah tangga, semakin memperburuk situasi ini. Rata-rata utang rumah tangga di Thailand telah mencapai rekor tinggi, menghimpit daya beli konsumen dan menjadikan pinjaman kendaraan semakin sukar disetujui.
Dalam pembicaraan yang dilakukan antara EVAT dan Bank Thailand pada bulan Juni, EVAT mendesak pihak bank untuk lebih permisif dalam memberikan pinjaman untuk kendaraan listrik. “Salah satu hasil pertemuan itu adalah (bank) dapat menghitung pendapatan sebagai keluarga atau rumah tangga saat mempertimbangkan pinjaman,” terang Siamnat Panassorn, Wakil Presiden EVAT. Usulan ini diharapkan dapat mendorong bank untuk lebih terbuka dalam memberikan akses keuangan bagi konsumen yang ingin membeli kendaraan listrik.
Insentif pemerintah untuk industri kendaraan listrik bertujuan untuk mendorong konversi 30 persen dari total produksi tahunan yang mencapai dua juta kendaraan hingga tahun 2030. Jika insentif ini tidak diperpanjang, risiko kehilangan momentum dalam transisi ke kendaraan listrik akan semakin besar, terutama di tengah upaya negara-negara lain di Asia Tenggara yang juga berlomba-lomba dalam pengembangan pasar kendaraan listrik.
Produsen kendaraan terkemuka asal Tiongkok seperti BYD Motors dan Great Wall Motor, yang merupakan bagian dari industri kendaraan listrik di Thailand, juga merasakan dampak dari situasi ini. Dengan besarnya investasi yang telah ditanamkan, keberhasilan atau kegagalan dalam memenuhi target produksi sangat berdampak pada instalasi dan rencana mereka di kawasan ini.
EVAT secara proaktif menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih adaptif dan dukungan dari pemerintah untuk menjaga keberlangsungan industri kendaraan listrik. Langkah-langkah strategis diperlukan agar Thailand dapat tetap bersaing sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara. Ketidakpastian dalam penjualan dan akses keuangan untuk konsumen menjadi salah satu tantangan terbesar yang saat ini dihadapi oleh industri ini.
Ketika berbicara mengenai masa depan kendaraan listrik di Thailand, penting untuk dicatat bahwa masalah ini tidak hanya terbatas pada pemasaran dan penjualan. Diperlukan juga komitmen jangka panjang dari semua pihak, termasuk pemerintah, bank, dan produsen, untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kendaraan listrik di negara ini. Keberhasilan dalam mencapai target yang ditetapkan akan bergantung pada seberapa baik semua pihak dapat bekerja sama dalam mengatasi tantangan yang ada dan merangkul potensi yang ditawarkan oleh pasar kendaraan listrik yang masih terbilang baru ini.
Dengan seruan untuk perpanjangan insentif dan pengembangan yang berkelanjutan, masa depan industri kendaraan listrik di Thailand diharapkan dapat lebih cerah, mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih luas dan menciptakan dampak positif bagi lingkungan.