Anak pengidap autis diproyeksikan akan terus bertambah setiap tahunnya, sebuah fenomena yang memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat luas. Hal ini diungkapkan oleh Ruwinah Abdul Karim, Clinical Director of Penawar Special Learning Centre (PSLC) Malaysia, dalam acara Malang Autism Summit (MAS) 2024 di Malang. Menurutnya, terdapat beberapa faktor pemicu yang berkontribusi terhadap meningkatnya angka anak pengidap autis, di antaranya faktor genetika, kondisi orang tua berusia lanjut saat hamil, komplikasi yang dialami orang tua, stres, penggunaan gadget, serta pencemaran udara.
Perubahan gaya hidup yang cepat juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya kasus autisme. Ruwinah mencatat bahwa di Malaysia, jumlah anak pengidap autis mencapai 9.000 anak per tahun, dengan pemerintah setempat sudah mengambil langkah-langkah kebijakan yang diharapkan bisa membantu mereka. Sebagai perbandingan, di Indonesia, jumlah anak pengidap autis yang tercatat mencapai 2,4 juta. Data ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap anak-anak dengan autisme di Indonesia masih jauh dari ideal.
Dari pernyataan Ruwinah, terlihat ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah Indonesia untuk merespons situasi ini dengan kebijakan yang lebih peduli terhadap anak-anak pengidap autis. Kebijakan yang dimaksud mencakup pembentukan fasilitas pendidikan yang mendukung anak dengan autisme, penambahan serta pelatihan tenaga pengajar, serta penciptaan ruang yang kondusif untuk pertumbuhan dan perkembangan mereka. Ruwinah menegaskan pentingnya menciptakan lingkungan yang tidak hanya memberi tempat, tetapi juga memberi kesempatan bagi anak-anak pengidap autis untuk berkembang.
Selama acara MAS 2024, yang berlangsung dari 3 hingga 5 Oktober, sejumlah 3.000 peserta termasuk orang tua, guru, aktivis, dan psikolog berkumpul untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai kebutuhan dan tantangan yang dihadapi anak-anak berketubuhan khusus. Kegiatan ini juga diadakan secara offline dan melalui saluran YouTube untuk menjangkau banyak orang. Salah satu fokus utama dalam acara tersebut adalah memberikan pendidikan dan penyuluhan mengenai cara-cara yang efektif untuk mendukung anak-anak dengan autisme.
Fakta menarik yang disampaikan oleh Ruwinah adalah bahwa 80% pengidap autis dapat menjalani kehidupan dengan baik jika mendapatkan dukungan yang tepat. Hal ini menegaskan bahwa anak-anak pengidap autis memiliki kecerdasan yang tinggi dalam banyak aspek, meskipun mereka menghadapi kesulitan dalam berkomunikasi dan interaksi sosial. Dengan demikian, peran masyarakat sangat penting untuk menghilangkan stigma negatif yang seringkali melekat pada anak-anak dengan autisme, sehingga mereka dapat berpotensi berkembang tanpa hambatan.
Dalam konteks kebijakan, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya mendengarkan isu-isu yang diangkat dalam forum seperti MAS, tetapi juga untuk mengambil tindakan yang jelas. Ruwinah menyarankan agar data dan informasi yang dikumpulkan selama acara diserahkan kepada pihak pemerintah untuk membantu mereka dalam menentukan langkah-langkah yang selanjutnya harus diambil. Tanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan tersebut ada di tangan pemerintah, termasuk dalam hal peningkatan kapasitas dan ketersediaan sumber daya untuk mengurus anak-anak dengan autisme.
Dengan semakin banyaknya anak pengidap autis, tantangan yang dihadapi dalam pendidikan dan integrasi sosial mereka akan terus meningkat. Oleh karena itu, kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga pendidikan sangat penting untuk memastikan bahwa kebutuhan anak-anak ini terpenuhi. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menyediakan program pendidikan yang inklusif yang tidak hanya menekankan pada akademis tetapi juga pada pengembangan sosial dan emosional anak.
Melalui acara seperti Malang Autism Summit, diharapkan kesadaran tentang pentingnya penanganan autisme semakin meningkat di kalangan masyarakat. Selain itu, semakin banyak pihak yang terlibat dalam diskusi tentang kebutuhan anak-anak pengidap autis, maka semakin besar peluang untuk menciptakan kebijakan yang efektif dan berkelanjutan. Ketika orang tua, guru, dan masyarakat lainnya bekerja sama, anak-anak dengan autisme dapat mencapai potensi penuh mereka dan berkontribusi positif bagi masyarakat.
Kesadaran dan penanganan yang tepat terhadap anak-anak pengidap autis bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat. Dengan informasi dan edukasi yang tepat, sikap positif dapat dibangun, yang pada akhirnya akan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan suportif bagi anak-anak pengidap autis.