Dunia

Pemimpin Negara Ini Kehilangan Fokus di Luar Negeri Saat Demo Besar Guncang Tanah Air

Ketika demonstrasi besar mengguncang sejumlah negara, tidak jarang kita melihat pemimpin mereka justru berada di luar negeri, menjalankan tugas diplomatik atau menghadiri forum internasional. Fenomena ini sering menimbulkan kritik dari berbagai kalangan yang mempertanyakan komitmen dan tanggung jawab pemimpin dalam menghadapi masalah yang terjadi di dalam negeri. Keberadaan mereka di luar negeri saat situasi dalam negeri memanas menjadi sorotan utama media dan publik.

Salah satu contoh terbaru dari situasi ini terjadi di Indonesia, di mana demonstrasi besar-besaran berlangsung di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kantor Pemilihan Umum (KPU) pada tanggal 22 dan 23 Agustus 2024. Demonstrasi ini dipicu oleh tuntutan masyarakat agar kedua lembaga tersebut mengikuti keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kepemimpinan luar negeri di tengah gejolak domestik ini membuka kembali perdebatan tentang efektivitas dan kepemimpinan yang mungkin kurang responsif terhadap krisis.

Dalam sejarah, ada beberapa pemimpin negara yang juga melakukan tindakan serupa ketika krisis melanda. Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Thailand, adalah salah satu contoh paling mencolok. Pada tahun 2006, saat protes besar menuntutnya untuk mundur terjadi, Thaksin berada di New York, Amerika Serikat, untuk menghadiri Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Keputusan tersebut berujung pada pengasingan dirinya selama 15 tahun, dan baru bisa kembali ke Thailand pada tahun 2023.

Contoh lain adalah Charles de Gaulle, presiden Perancis pada tahun 1968. Saat itu, para mahasiswa dan sepuluh juta pekerja buruh melakukan demonstrasi besar-besaran. De Gaulle secara diam-diam meninggalkan Perancis ke Jerman untuk mengantisipasi kemungkinan revolusi komunis yang bisa terjadi akibat gejolak tersebut. Meski kepergian ini memunculkan spekulasi, de Gaulle mampu kembali dan mengendalikan situasi dengan baik.

Di Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa menjadi sorotan ketika krisis politik dan ekonomi melanda pada tahun 2022. Ia dituduh terlibat dalam praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan disalahkan atas krisis yang meluas. Di tengah demonstrasi yang terjadi, Rajapaksa kabur ke Maladewa sebelum melanjutkan perjalanannya ke Singapura, berpindah tempat saat keadaan semakin memanas. Ia akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden pada 14 Juli 2022.

Situasi yang serupa juga dialami oleh Evo Morales di Bolivia. Morales meninggalkan negara itu pada 11 November 2019 dengan tujuan Meksiko untuk mencari suaka. Ia terpaksa mundur setelah dituduh melakukan kecurangan pemilu, yang memicu demonstrasi besar-besaran. Di bawah tekanan dari militer dan demonstran, Morales akhirnya mengundurkan diri.

Demonstrasi yang juga mengguncang Aljazair pada tahun 2019 menyebabkan Abdelaziz Bouteflika, yang saat itu menjabat presiden, berada di Swiss untuk pengobatan. Ketika demonstrasi besar menuntutnya untuk mundur terjadi, tekanan dari rakyat dan militer membuat Bouteflika mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 2 April 2019.

Baru-baru ini, Sheikh Hasina, Perdana Menteri Bangladesh, mengalami situasi yang mirip. Pada tahun 2024, Hasina terpaksa melarikan diri ke India setelah demonstrasi sistem kuota pekerjaan berubah menjadi bentrokan berdarah. Tekanan dari rakyatnya memaksanya untuk mengundurkan diri pada Juli 2024, menunjukkan bahwa situasi yang sama dapat terjadi pada pemimpin dari negara manapun.

Keberadaan para pemimpin dunia di luar negeri saat krisis dalam negeri adalah hal yang kompleks, seringkali diiringi dengan kritik dari publik dan media. Tuntutan untuk kehadiran dan kepemimpinan di lokasi saat situasi darurat menunjukkan harapan masyarakat agar pemimpin lebih tanggap dan proaktif dalam menangani masalah yang ada. Di satu sisi, tugas diplomatik dan hubungan internasional yang dijalankan bisa menjadi penting untuk negara, namun di sisi lain, banyak pihak menginginkan kehadiran pemimpin mereka secara langsung di tengah masyarakat yang sedang berjuang untuk perubahan.

Ketidakpuasan masyarakat terhadap keputusan pemimpin yang tidak hadir di saat kritis menjadi bagian dari dinamika dalam politik global. Pemimpin yang berani mengambil langkah untuk menghadapi tantangan di dalam negeri adalah hal yang diharapkan, namun dalam beberapa kasus, langkah diplomatik mungkin dianggap lebih mendesak.

Dalam konteks ini, harapan bagi para pemimpin di seluruh dunia adalah untuk tetap memperhatikan komitmen dan tanggung jawab mereka kepada rakyat, terutama di saat-saat penting seperti demonstrasi yang terjadi di Indonesia dan negara-negara lainnya. Negara-negara harus belajar dari pengalaman pemimpin terdahulu guna menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi tantangan modern yang memerlukan tanggapan urgent dan kepemimpinan yang kuat.

Kepemimpinan yang efektif adalah kunci untuk menghadapi tantangan yang ada dan memenuhi harapan masyarakat, dan kehadiran pemimpin di tengah gelombang demonstrasi bisa menjadi simbol ketahanan dan perhatian kepada masalah yang dihadapi oleh warga negaranya. Ini adalah pelajaran penting dari sejarah yang harus dipertimbangkan oleh setiap pemimpin di era globalisasi saat ini.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.

Artikel Terkait

Back to top button