Pemerintah Jepang memutuskan untuk mencabut peringatan gempa besar atau megathrust yang selama ini telah mengkhawatirkan masyarakat setelah adanya gempa berkekuatan 7,1 magnitudo yang mengguncang negara tersebut. Peringatan ini diangkat sepekan setelah bencana tersebut dan dianggap berpotensi menyebabkan kerusakan serta hilangnya nyawa. Menteri Penanggulangan Bencana, Yoshifumi Matsumura, mengungkapkan bahwa peringatan khusus akan dicabut pada pukul 17.00 waktu setempat, dengan catatan tidak ada aktivitas seismik besar yang menyusul.
Peringatan ini sebelumnya sangat berdampak pada kehidupan masyarakat Jepang. Ribuan orang membatalkan liburan mereka dan berbondong-bondong menimbun barang-barang penting, menyebabkan rak-rak di beberapa supermarket kosong dalam waktu singkat. Usai gempa pertama, badan cuaca Jepang telah memperingatkan bahwa kemungkinan terjadinya gempa besar memang “lebih tinggi dari biasanya” dan memicu kepanikan yang melanda banyak orang.
Selama periode peringatan tersebut, pemerintah mendorong masyarakat untuk tetap waspada dan memeriksa kesiapan mereka menghadapi kemungkinan terjadinya gempa besar yang dapat melanda kapan saja. Matsumura secara khusus mengingatkan agar masyarakat tidak mengabaikan risiko yang ada, meskipun peringatan resmi akan segera dicabut.
Gempa yang terjadi itu adalah jenis gempa megathrust subduksi, yang dikenal dapat memicu tsunami besar. Peringatan khusus itu terfokus pada Palung Nankai, sebuah wilayah seismik yang terletak di antara dua lempeng tektonik. Palung ini sepanjang sekitar 800 km dan berada sejajar dengan pantai Jepang, termasuk wilayah di lepas Tokyo, yang merupakan daerah dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi.
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1707, semua segmen Palung Nankai mengalami gempa secara bersamaan, yang saat itu menjadi gempa terkuat kedua yang pernah tercatat di Jepang. Tak hanya itu, gempa tersebut juga memicu letusan terakhir Gunung Fuji. Dalam beberapa dekade setelahnya, beberapa megathrust Nankai kuat lainnya juga terjadi pada tahun 1854, 1944, dan 1946.
Pemerintah Jepang memperkirakan kemungkinan megagempa berikutnya berkekuatan 8 hingga 9 dapat terjadi sepanjang Palung Nankai dengan kemungkinan sekitar 70 persen dalam kurun waktu 30 tahun ke depan. Skenario paling buruk diperkirakan dapat mengakibatkan 300.000 jiwa melayang, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai USD 13 triliun akibat kerusakan infrastruktur yang luas.
Meskipun potensi bencana tampak besar, para ahli seismologi menyatakan bahwa risiko saat ini masih tergolong rendah. Mengingat hal ini, Kementerian Pertanian dan Perikanan Jepang mengeluarkan peringatan agar masyarakat tidak melakukan penimbunan barang secara berlebihan, terutama setelah banyaknya laporan mengenai lonjakan permintaan barang-barang kebutuhan darurat seperti air dan makanan yang diawetkan.
Situasi ini juga berimbas pada perdana menteri, Fumio Kishida, yang terpaksa membatalkan perjalanannya ke Asia Tengah sebagai langkah precusional. Beberapa layanan transportasi, termasuk kereta peluru, beroperasi dengan kecepatan yang lebih rendah sebagai bagian dari langkah-langkah preventif. Pembangkit listrik tenaga nuklir juga mendapatkan instruksi untuk meninjau kembali persiapan bencana mereka.
Sejak awal, Jepang telah menghadapi tantangan berat ketika harus bersiap menghadapi berbagai potensi bencana alam. Penduduk yang hidup di daerah rawan bencana selalu diajarkan untuk memahami pentingnya edukasi dan kesadaran akan risiko yang ada. Jepang merupakan salah satu negara paling seismik aktif di dunia, sehingga peringatan dini dan persiapan yang baik bagi masyarakat sangatlah penting untuk mengurangi resiko bencana.
Dalam mengatasi situasi ini, upaya komunitas untuk saling mendukung menjadi aspek penting guna mengurangi dampak dari potensi bencana alam. Melalui kerja sama dan ketahanan yang kuat di tingkat komunitas, diharapkan masyarakat dapat beradaptasi dan lebih siap untuk menghadapi beragam kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.
Dengan periode peringatan megathrust yang hampir berakhir, masyarakat Jepang kini diharapkan kembali ke rutinitas mereka sambil tetap waspada terhadap kemungkinan dampak gempa bumi di masa depan. Peringatan yang dicabut ini membawa harapan baru tetapi tetap menyisakan keresahan, mengingat Jepang tidak hanya bergantung pada keberuntungan, tetapi juga pada kesiapan yang matang dalam menghadapi bencana.