Bisnis

Pemerintah Baru Prabowo-Gibran Diyakini Berpihak pada Sektor Tembakau, Dukung Pertumbuhan Industri

Ahli hukum dari Universitas Trisakti, Ali Ridho, menilai bahwa pemerintah baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka harus kembali mengkaji Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terkait kesehatan. Penilaiannya menunjukkan bahwa aturan ini perlu ditinjau untuk memastikan kesinambungan sektor tembakau dalam kebijakan pemerintah yang baru. Hal ini disampaikan dalam sebuah pernyataan di Jakarta pada Kamis, 3 Oktober 2024.

Latar belakang Prabowo sebagai sosok yang berpihak kepada petani tembakau menjadi salah satu alasan penting dalam penilaian Ali. Prabowo, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) periode 2004-2009, dinilai memiliki komitmen yang dalam terhadap pengembangan dan perlindungan sektor pertanian, khususnya tembakau. Dalam pandangannya, kebijakan pemerintah baru yang menyentuh sektor tembakau dapat memberikan dampak positif bagi petani dan industri terkait.

Salah satu isu yang diangkat adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang dinilai berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak negara. Kajian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa penerapan aturan terkait industri rokok ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan, mencapai Rp308 triliun. Selain itu, penerimaan pajak juga diperkirakan bisa menurun hingga Rp160,6 triliun.

Ali Ridho menegaskan bahwa setiap presiden memiliki agenda dan kepentingan ketatanegaraan yang berbeda. Dengan demikian, dia berharap pemerintahan baru dapat memberikan perhatian lebih terhadap sektor tembakau. Menurutnya, kehadiran peraturan yang lebih ramah bagi petani tembakau akan sangat bermanfaat baik dari segi ekonomi maupun sosial.

Ali juga menunjukkan kekhawatiran bahwa PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes mengadopsi prinsip-prinsip dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Namun, Ali menegaskan bahwa Indonesia tidak meratifikasi peraturan tersebut karena pertimbangan ekonomi nasional. Negara ini memiliki ekosistem pertembakauan yang kompleks, dan banyak tenaga kerja yang bergantung pada industri ini.

Sebagai penggambaran, menurut Ali, di negara seperti Australia dimana diterapkan kemasan polos untuk rokok, meskipun prevalensi rokok legal menurun, arus konsumsi rokok ilegal justru meningkat. Hal ini menggambarkan bahwa mengadopsi FCTC tidak serta merta menyelesaikan masalah rokok di Indonesia, malah dapat memicu permasalahan baru. “Harus diingat, haram hukumnya untuk mengadopsi FCTC,” tandas Ali.

Dari sudut pandang yang sama, Ketua Umum Asosiasi Merek Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman, sepakat bahwa latar belakang Prabowo subur terhadap industri tembakau dapat diharapkan membawa keberpihakan pemerintah baru kepada para petani tembakau. Budhyman secara tegas menyampaikan penolakannya terhadap Rancangan Permenkes ini yang dinilai merugikan, terlebih jika dikhususkan pada kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek.

Budhyman mengharapkan agar PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes dapat ditinjau kembali, mengingat dampak buruk yang dapat ditimbulkan bagi negara, petani, dan industri rokok. “Kami menolak secara tegas terhadap aturan yang akan benar-benar merugikan bagi ekosistem pertembakauan,” ujarnya. Pernyataan ini mencerminkan keinginan yang kuat dari kalangan industri untuk mendapatkan perlindungan dan perhatian yang lebih besar dari pemerintah.

Kekhawatiran yang muncul dari situasi ini tidak hanya berkaitan dengan efek ekonomi, namun juga menyangkut kelangsungan hidup banyak petani tembakau di tanah air. Dengan ribuan keluarga yang bergantung pada industri tembakau, setiap perubahan regulasi dapat memiliki dampak yang sangat besar. Para petani menantikan kebijakan yang bisa meningkatkan pendapatan mereka, bukan sebaliknya.

Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah pemerintahan baru Prabowo-Gibran akan mengakomodasi kepentingan sektor tembakau dalam kebijakan yang akan datang. Sejalan dengan argumen dari para ahli dan praktisi di lapangan, komitmen untuk melindungi sektor ini dinilai tidak hanya penting untuk kepentingan ekonomi, tetapi juga untuk menjaga stabilitas sosial dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung secara langsung kepada sektor ini.

Penting bagi pemerintah baru untuk berkomunikasi dengan semua pihak yang berkepentingan, termasuk petani dan pengusaha di sektor tembakau. Dialog yang konstruktif dapat menghasilkan kebijakan yang tidak hanya mempertimbangkan aspek kesehatan, tetapi juga memperhatikan dampak sosial dan ekonomi. Keseimbangan ini menjadi kunci agar sektor tembakau tetap dapat berkontribusi pada perekonomian nasional.

Sebagai respons terhadap kritik yang berkembang, pemerintah baru diharapkan bisa lebih terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak. Jika pemerintah menunjukkan kepedulian terhadap nasib para petani tembakau dan industri, maka keberpihakan itu akan sangat dirasakan dan diapresiasi oleh masyarakat.

Dalam konteks ini, Prabowo dan Gibran akan diuji apakah mereka dapat menjaga keberpihakan kepada sektor tembakau yang vital bagi banyak orang. Dengan kebijakan yang tepat, sektor tembakau tak hanya akan bertahan, tetapi mampu berkembang menjadi bagian integral dari perekonomian yang kuat.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button