Indonesia

Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Masyarakat: Solusi Efektif Mengentaskan Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan di Indonesia masih menjadi masalah fundamental yang kompleks dan harus segera ditangani. Berbagai kebijakan pemerintah telah dicanangkan untuk mengatasi permasalahan ini, namun hasil yang diperoleh sering kali tidak sesuai harapan. Pada diskusi kelompok terpumpun yang diadakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Muhammadiyah Kupang pada 17 Oktober 2024, terungkap bahwa kemiskinan di tanah air bahkan dapat dipandang sebagai "proyek terstruktur" yang dipelihara untuk kepentingan tertentu.

Ahli Patologi Sosial dari Universitas Indonesia, Ester Jusuf, mengungkapkan bahwa terdapat indikasi bahwa kemiskinan di beberapa daerah justru sengaja dipertahankan. “Kita bicara tentang penghasilan, garis kemiskinan, sesuatu yang sangat politis. Ada banyak kasus di mana kemiskinan diproyeksikan untuk kepentingan individu tertentu,” ujarnya. Ester menjelaskan bahwa kendati terdapat penurunan angka kemiskinan secara statistik, kita harus lebih memperhatikan realitas sosial yang dihadapi masyarakat, termasuk akses terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, kesehatan, dan pendidikan.

Pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat dipandang sebagai salah satu solusi untuk mengatasi masalah kemiskinan yang sistemik. Sosiolog Pembangunan Pedesaan, Charles Beraf, menekankan betapa pentingnya pemberdayaan masyarakat dalam melawan kemiskinan. Ia memberikan contoh konkret dari Keo Tengah di Flores, di mana para petani kakao yang sebelumnya bergantung pada tengkulak kini mampu memproduksi cokelat batangan melalui kreativitas dan pelatihan yang diberikan. “Sejak 2019, mereka memulai program jaga kampung untuk melatih anak muda mengolah kakao. Kini produk mereka sudah masuk pasar,” kata Charles.

Pemberdayaan lokal, menurut Charles, sangat penting sebagai cara untuk melawan pemiskinan yang terjadi di seluruh dunia. Pemberdayaan yang sesuai dengan konteks lokal dianggap sebagai kunci untuk memutus rantai kemiskinan. Namun, pelaksanaan program pemerintah yang seharusnya mendukung pemberdayaan sering kali tidak tepat sasaran. Charles mengingatkan bahwa pada tahun 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah mengatakan bahwa penggunaan dana desa seharusnya 70 persen untuk pemberdayaan masyarakat dan 30 persen untuk pembangunan infrastruktur. Tetapi, seringkali para kepala desa lebih fokus pada aspek infrastruktur karena imbalan finansial yang lebih menguntungkan.

Dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Widya Mandira, Marianus Kleden, juga menyoroti pentingnya tata niaga yang baik. Contohnya, potensi komoditas jagung di Nusa Tenggara Timur (NTT) yang jika dikelola dengan baik dari hulu hingga hilir bisa menghasilkan triliunan rupiah. “Tahun ini, NTT menghasilkan 650 ribu ton jagung. Dengan harga pasar internasional sekitar Rp4.655 per kilogram, NTT bisa mendapatkan Rp3 triliun,” ungkap Marianus, menekankan potensi besar yang ada di daerah itu jika dikelola dengan baik.

Namun, Marianus juga mengingatkan adanya budaya politik yang menghambat pembangunan infrastruktur di beberapa daerah. "Budaya balas dendam dalam politik bisa membuat infrastruktur tidak dibangun di desa yang tidak memberikan suara dalam pemilu, meskipun desa tersebut memiliki potensi komoditas yang besar,” tambahnya.

Keterlibatan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya merupakan hal lain yang juga perlu perhatian. Koordinator Forum Masyarakat Adat Pesisir, Bona Beding, menegaskan bahwa masyarakat adat sering kali dipandang sebagai kelompok miskin karena kebutuhan mereka dinilai dengan standar yang berbeda. Masyarakat adat biasanya bergantung pada alam dan menggunakan cara-cara tradisional, seperti berlayar menggunakan angin, yang berbeda jauh dengan ketergantungan pada bahan bakar minyak.

Bona menjelaskan, ketergantungan masyarakat adat pada bantuan pemerintah, seperti subsidi BBM, justru dapat menjauhkan mereka dari cara hidup yang telah ada selama berabad-abad. "Kemiskinan tidak hanya tentang materi, tapi juga tentang kehilangan akar budaya. kebijakan yang salah arah bisa menciptakan ketergantungan yang merugikan," ujarnya. Selain itu, ia juga mengindikasikan bahwa masyarakat adat tidak diberikan ruang yang layak dalam kebijakan pemerintah. Perancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang telah diajukan selama 14 tahun tanpa kejelasan justru semakin memperburuk kondisi ini.

Bona memberikan saran agar pemerintah lebih serius memperhatikan masyarakat adat dalam upaya menumbuhkan nilai-nilai Pancasila yang selama ini mereka junjung tinggi. Melalui langkah-langkah yang lebih berdasar pada kearifan lokal dan pemberdayaan masyarakat, diharapkan tantangan kemiskinan dapat teratasi secara berkelanjutan.

Dari berbagai perspektif yang disampaikan oleh para ahli, kesimpulan yang muncul adalah bahwa pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat yang terencana dan sistematis adalah langkah yang diperlukan untuk mengatasi kemiskinan. Melalui kekuatan komunitas dan kemandirian, diharapkan masyarakat dapat mengubah nasib mereka sendiri dan keluar dari lingkaran kemiskinan yang selama ini melekat. Upaya ini memerlukan dukungan dari semua pihak, termasuk pemerintah, untuk menciptakan kebijakan yang tepat guna dan berdaya guna.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button