Bisnis

Pelaku Usaha Didorong Berperan Aktif dalam Transisi Energi untuk Masa Depan Berkelanjutan

Berbagai proyek transisi energi di Indonesia dinilai memiliki peluang besar untuk mendapatkan pendanaan, namun perbankan tetap mempertimbangkan kesiapan proyek sebelum memberikan akses finansial. Hal ini diungkapkan oleh Heru Gautama Hatman, Executive Director Institutional Banking Group Bank DBS Indonesia, dalam sebuah diskusi bertema Transition Finance: Catalyzing Climate Ambition yang berlangsung di acara Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2024 yang diselenggarakan oleh Katadata.

Menurut Heru, pihaknya mengamati kesiapan proyek dari perspektif Environmental, Sustainable, and Governance (ESG). Kesiapan ini menjadi bagian dari upaya untuk mendukung keuangan berkelanjutan, yang merupakan ekosistem kebijakan, regulasi, norma, standar, produk, transaksi, dan jasa keuangan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial dalam pembiayaan kegiatan yang berkelanjutan. “Proyek transisi energi di Indonesia saat ini memiliki berbagai peluang dan risiko, termasuk risiko pergerakan valuasi komoditas di pasar, yang dapat memengaruhi keputusan investasi terhadap proyek-proyek tersebut,” jelasnya.

Heru menegaskan bahwa pelaku usaha lokal harus didorong untuk lebih aktif terlibat dalam transisi energi, mengingat potensi besar yang dapat dihasilkan, terutama dalam penyediaan komponen-komponen energi terbarukan seperti panel solar. "Penyediaan panel solar, misalnya, seharusnya bisa diproduksi di dalam negeri. Dengan memprioritaskan produk lokal, kita tidak hanya mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan memperkuat perekonomian nasional," ungkap Heru.

Bank DBS sendiri telah mengambil langkah nyata dalam mendukung transisi energi ini dengan menyuplai pendanaan untuk produksi panel solar di India melalui kolaborasi dengan ReNew Power. Langkah tersebut mencerminkan komitmen bank ini dalam mendorong industri hijau tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global.

Di sisi lain, Masyita Crystallin, Partner and Head of Asia Pacific Sustainable Finance and Policy di Systemiq, menambahkan bahwa pendanaan untuk transisi energi di Indonesia memerlukan ekosistem yang sudah matang. Dia menjelaskan bahwa ekosistem ini harus mencakup aspek implementasi, regulasi, dan investasi. "Taksonomi keuangan kita perlu disesuaikan dengan negara-negara ASEAN lainnya agar memudahkan akses pendanaan serta pembentukan ekosistem yang sehat," jelas Masyita.

Perubahan iklim semakin mendesak para pelaku bisnis dan lembaga keuangan untuk beradaptasi dan mengembangkan strategi yang lebih berkelanjutan. Inisiatif internasional seperti Net-Zero Banking Alliance (NZBA) dan Glasgow Financial Alliance for Net-Zero (GFANZ) menunjukkan bahwa banyak institusi keuangan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. Bank DBS, dengan keikutsertaannya dalam kedua aliansi tersebut, menunjukkan keseriusannya dalam mendukung upaya global menuju nol emisi karbon.

Dalam konteks ini, partisipasi pelaku usaha dalam transisi energi tidak hanya akan membantu mereka untuk bersaing di pasar yang semakin berfokus pada keberlanjutan, tetapi juga mendemonstrasikan tanggung jawab sosial mereka. Pelibatan komunitas bisnis dapat mempercepat proses transisi menuju ekonomi rendah karbon, dengan memberikan berbagai solusi inovatif yang berkelanjutan.

Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, ada tantangan yang harus dihadapi. Kesiapan infrastruktur menjadi salah satu isu penting yang harus diperhatikan. Tanpa infrastruktur yang memadai untuk mendukung produksi dan distribusi energi terbarukan, potensi yang ada akan sulit untuk direalisasikan. Oleh karena itu, kerjasama antara sektor publik dan swasta sangat dibutuhkan dalam membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk mendukung transisi energi.

Dalam konteks regulasi, pentingnya kebijakan yang ramah investasi juga tidak boleh diabaikan. Regulasi yang jelas dan mendukung akan memberikan kepastian kepada para investor dalam menanamkan modalnya di sektor energi terbarukan. Masyita menggarisbawahi bahwa jika regulasi telah disusun dengan baik, maka pelaku usaha akan lebih percaya diri untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang mendukung transisi energi.

Pendanaan dari lembaga keuangan juga harus disertai dengan pendekatan yang lebih inovatif. Produk keuangan yang bertujuan untuk mendukung keberlanjutan seperti green bonds, sukuk hijau, dan instrumen keuangan lainnya perlu diperkenalkan dan diperluas. Hal ini penting agar berbagai sumber daya dapat dimobilisasi untuk memenuhi kebutuhan investasi dalam transisi energi.

Di Indonesia, dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya energi terbarukan, dukungan dari pemerintah sangat diharapkan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi dalam sektor ini. Stimulus fiskal, insentif pajak, serta pembiayaan yang mudah diakses akan sangat membantu dalam mendorong investasi swasta ke arah transisi energi yang lebih berkelanjutan.

Sebagai kesimpulan, partisipasi aktif dari para pelaku usaha dalam transisi energi di Indonesia akan sangat menentukan keberhasilan dan kecepatan transformasi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan. Dukungan dari lembaga keuangan, kesesuaian regulasi, serta keterlibatan masyarakat dan pemerintah menjadi fondasi penting dalam menciptakan ekosistem yang sehat untuk transisi energi yang sukses.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.

Artikel Terkait

Back to top button