Teknologi

Ongkos Penggelaran Infrastruktur IT di Daerah 3T Melonjak, Akibat Kondisi Geografis Terjal

Kondisi geografis yang terjal telah menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya ongkos penggelaran infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Indonesia. Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengungkapkan bahwa medan yang berat di daerah 3T, termasuk pegunungan, hutan belantara, dan pulau-pulau kecil yang terpencil, mengakibatkan tantangan signifikan dalam pengembangan akses telekomunikasi.

Kepala Divisi Pengadaan BAKTI Kominfo, Gumala Warman, menegaskan bahwa geografis menjadi kendala utama dalam mengembangkan akses telekomunikasi. “Pembangunan infrastruktur digital di daerah tersebut membutuhkan dukungan alat tambahan, termasuk helikopter, untuk mengangkut perangkat ke titik-titik yang sulit dijangkau,” ujarnya dalam acara literasi digital Empowern3T, Embrace the Digital Age Lead the Change di Auditorium Universitas Pattimura pada 17 Oktober 2024.

Satu masalah utama yang dihadapi di wilayah 3T adalah keterbatasan infrastruktur pendukung seperti jalan, listrik, dan sumber daya manusia (SDM). Banyak daerah di 3T belum memiliki akses listrik dan jalan yang memadai, sehingga menciptakan kerumitan tambahan dalam penggelaran infrastruktur TIK. Gumala menyatakan, “Kondisi ini membuat pembangunan telekomunikasi menjadi lebih sulit dan mahal.”

Lebih jauh, faktor cuaca dan bencana alam juga menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan layanan telekomunikasi di daerah-daerah ini. Gumala menekankan bahwa sering terjadinya bencana alam—seperti gempa bumi, banjir, dan badai—dapat merusak infrastruktur telekomunikasi dan mengganggu layanan. “Kondisi cuaca yang ekstrim seperti hujan lebat dan angin kencang juga dapat mengganggu sinyal,” tambahnya.

Faktor keamanan juga diungkapkan sebagai sebuah kendala, khususnya di beberapa daerah di Papua yang masih menghadapi isu kekerasan dari organisasi bersenjata. Kendala-kendala ini menciptakan tantangan serius dalam mencapai transformasi digital yang merata di seluruh pelosok tanah air. Meski demikian, Gumala optimis. Ia mengungkapkan, “Justru dengan transformasi digital inilah akan diletakkan pusat dasar-dasar untuk membangun semua sektor lain yang tertinggal, terdepan, dan terluar.”

BAKTI telah berupaya menangani berbagai tantangan tersebut melalui penggelaran beberapa proyek infrastruktur. Di antara proyek yang telah dilaksanakan adalah penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) di wilayah 3T, dengan total 1.665 lokasi yang menggunakan kontribusi Universal Service Obligation (USO). Selain itu, telah disiapkan juga BTS 4G di 4.995 lokasi yang menggunakan bauran pembiayaan.

Untuk memperluas jangkauan internet masyarakat, BAKTI melakukan pembangunan dan penyediaan layanan internet menggunakan teknologi fiber dan radio link di 18.697 titik layanan publik di seluruh Indonesia. Dia menambahkan bahwa jaringan fiber optik sepanjang 12.229 km, yang dikenal dengan sebutan Palapa Ring, merupakan proyek telekomunikasi pemerintah pertama yang menerapkan skema kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.

Di samping itu, terdapat juga proyek High Throughput Satellite (HTS) yang dinamakan Satria. Satria 1, yang telah diluncurkan pada 19 Juni 2023 dan mulai beroperasi pada 2 Januari 2024, memiliki kapasitas sebesar 150 Gbps. Gumala menyebutkan bahwa Satria 1 merupakan salah satu bentuk kerjasama antara pemerintah dan badan usaha dalam upaya meningkatkan akses internet di wilayah 3T.

Meskipun tantangan masih banyak, Gumala yakin bahwa dengan kerja keras dan kerjasama yang erat antara pemerintah dan swasta, transformasi digital akan tercapai. “Berbagai rintangan tersebut justru merupakan salah satu hal yang perlu dilawan guna meratanya transformasi digital sampai ke seluruh pelosok tanah air,” tegasnya.

Dalam konteks upaya menjawab tantangan tersebut, pemerintah juga menggalakkan pendanaan yang lebih baik dan berkelanjutan dalam penggelaran infrastruktur TIK di Indonesia. Dengan demikian, diharapkan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai proyek-proyek tersebut dapat ditekan, sekaligus memastikan bahwa masyarakat di daerah 3T dapat menikmati manfaat digitalisasi yang setara dengan daerah lain.

Meningkatnya ongkos penggelaran infrastruktur IT di wilayah 3T adalah isu yang kompleks dan memerlukan perhatian serius. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah, swasta, dan masyarakat, tantangan-tantangan ini diharapkan dapat diatasi, sehingga seluruh masyarakat Indonesia, tanpa terkecuali, dapat merasakan manfaat dari akses informasi dan teknologi yang lebih baik.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button