Dunia dikejutkan oleh serangan Israel yang menghancurkan sekolah Al-Tabin di Gaza pada Sabtu, 10 Agustus 2024. Laporan yang diterbitkan oleh Dinas Keamanan Sipil Gaza mencatat bahwa serangan ini menewaskan setidaknya 100 warga Palestina, termasuk sejumlah wanita dan anak-anak. Insiden tragis ini memicu reaksi luas dari negara-negara Barat yang sebelumnya dikenal mendukung Israel, namun kini suara kritis dan skeptis mulai terdengar.
Amerika Serikat menjadi salah satu negara yang pertama kali menanggapi serangan tersebut. Sean Savett, juru bicara Gedung Putih, menyatakan dalam pernyataan resmi bahwa AS “sangat prihatin” dengan laporan yang menyebutkan tingginya angka korban jiwa di kalangan warga sipil. Ia juga menekankan bahwa Israel harus memberikan usaha lebih besar dalam melindungi warga sipil dari dampak konflik. Dalam nada serupa, Wakil Presiden Kamala Harris juga mengungkapkan keprihatinan yang mendalam tentang tingginya angka korban sipil akibat serangan yang mengklaim sasaran Hamas. Harris mendesak kedua belah pihak untuk segera melakukan gencatan senjata demi mencegah lebih banyak nyawa hilang.
Di sisi lain, Inggris tidak ketinggalan dalam memberikan kritik; Menteri Luar Negeri Inggris melalui akun X-nya menyebut serangan ke sekolah tersebut sebagai tindakan yang "menggemparkan". Ia menyerukan agar Hamas berhenti membahayakan warga sipil, sementara Israel diharapkan dapat mematuhi hukum humaniter internasional yang berlaku. Seruan untuk gencatan senjata juga disampaikan oleh pemerintah Inggris, menunjukkan bahwa kebangkitan suara kritis ini semakin menjadi perhatian mereka.
Prancis turut memberikan respons atas insiden serangan tersebut. Menteri Luar Negeri, Stephane Sejourne, menyatakan bahwa selama beberapa minggu terakhir, bangunan sekolah terulang kali menjadi target serangan, sebuah situasi yang tidak bisa ditolerir. Ia mengutip meningkatnya angka korban jiwa sipil akibat serangan tersebut. Sejourne menegaskan pentingnya untuk Israel untuk mematuhi hukum humaniter internasional agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Di tingkat lebih luas, Uni Eropa (UE) melalui Kepala Kebijakan Luar Negeri Josep Borrell, juga menyuarakan ketakutan atas gambaran mengerikan yang muncul setelah serangan tersebut, dimana banyak sekolah yang diserang. Borrell menegaskan bahwa setidaknya ada 10 sekolah yang telah disasar dalam beberapa minggu terakhir, tanpa adanya justifikasi yang jelas bagi penyerangan tersebut. Dalam konteks ini, juru bicara Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga mengeluarkan pernyataan yang mengkritik dukungan AS yang dianggap “buta” terhadap Israel, yang berkontribusi pada ribuan kematian warga sipil.
Dalam konteks yang lebih luas, pertempuran antara Israel dan Hamas yang dimulai sejak 7 Oktober 2023 telah mengakibatkan konsekuensi yang sangat serius. Laporan terbaru menunjukkan bahwa sebanyak 39.790 orang tewas dan 92.002 mengalami luka-luka akibat konflik yang berkepanjangan ini. Situasi ini menggambarkan kompleksitas dan kehampaan yang melatarbelakangi konflik di wilayah tersebut, yang melibatkan hak asasi manusia dan hukum internasional.
Kritik keras dari negara-negara Barat ini menandakan perubahan dalam narasi di kalangan mereka yang umumnya mendukung posisi Israel. Hal ini menunjukan bahwa kekerasan yang menyasar warga sipil, khususnya anak-anak dan wanita, semakin tidak bisa diterima oleh komunitas internasional. Seruan demi seruan untuk gencatan senjata mencerminkan kepedulian terhadap upaya perlindungan warga sipil dalam situasi konflik dan pembelaan terhadap hukum humaniter internasional.
Dalam rentetan peristiwa ini, sudah menjadi keharusan bagi setiap pihak untuk mempertimbangkan dampak dari setiap tindakan yang diambil, terutama yang menyebabkan banyaknya korban jiwa. Dengan semakin banyak negara bagian dunia mengungkapkan keprihatinannya, masyarakat internasional harus bersatu mencari cara untuk mencegah kejadian yang sama terjadi kembali di masa yang akan datang.
Sebagai penanda, insiden serangan Israel ke sekolah di Gaza adalah pendewasaan pembicaraan mengenai konflik yang tak kunjung usai ini. Dampaknya tidak terbatas pada wilayah yang dibakar oleh pertikaian, namun meluas ke diskusi global mengenai hak asasi manusia, perlindungan warga sipil, dan tanggung jawab komunitas internasional dalam menanggapi situasi yang menghadirkan tantangan moral dan hukum yang signifikan. Insiden ini, jika tidak ditangani dengan bijaksana, bisa saja memperburuk situasi dan berdampak pada stabilitas kawasan, sekaligus meninggalkan luka yang dalam bagi rakyat Palestina dan menyerukan perlunya tindakan lebih konkret untuk menghentikan siklus kekerasan yang baru dan berulang.