Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB) saat ini berada dalam sorotan, dengan banyak pihak yang menilai bahwa lembaga ini semakin tidak dapat menjalankan fungsi semestinya. Dianggap hanya sebagai alat oleh negara-negara besar, panggilan untuk melakukan reformasi mendesak semakin meningkat. Salah satu contoh nyata dari ketidakmampuan ini adalah ketidakmampuan DK PBB dalam merespons krisis, seperti yang terlihat dalam konflik di Gaza, di mana lebih dari tujuh bulan diperlukan untuk mengeluarkan resolusi gencatan senjata, tetapi hingga sebelas bulan berlalu, situasi masih belum menentu.
Hak veto yang dimiliki oleh lima negara anggota tetap juga menjadi momok yang memperparah situasi. Lemahnya respons DK PBB dalam menghadapi krisis internasional sering kali dikaitkan dengan kepentingan politik negara-negara besar yang sering kali mengabaikan suara negara lain, khususnya dari negara-negara kecil dan berkembang. Hal ini menciptakan skeptisisme yang mendalam tentang relevansi dan efektivitas DK PBB dalam menyelesaikan masalah-masalah global yang krusial. Mantan Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Marty Natalegawa, menekankan bahwa reformasi ini merupakan hal yang sangat penting dan harus terus diupayakan.
Dalam acara Global Town Hall 2024 yang diadakan pada 7 September 2024, Marty Natalegawa menyatakan bahwa penting untuk menyadari fakta bahwa multilateralisme bukan hanya sekedar konsep tetapi merupakan pola pikir yang perlu diintegrasikan ke dalam tipe kepemimpinan. "Tujuan nasional hanya dapat dicapai pada tingkat multilateral," ujarnya. Hal ini menunjukkan pentingnya kerjasama antara negara dengan memiliki kesadaran kolektif atas tantangan global.
Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi saat ini, Marty mengusulkan agar kerja sama multilateral memiliki kapasitas yang adaptif terhadap perubahan dinamika dunia. Ia menggarisbawahi bahwa metode kerja yang lebih berbasis isu daripada sekadar berdasarkan lembaga merupakan pendekatan yang lebih relevan. Sebab, lingkungan global yang cepat berubah mengharuskan lembaga-lembaga internasional untuk tidak kaku, tetapi sebaliknya mampu beradaptasi dengan konteks yang ada.
Marty Natalegawa juga mengungkapkan rasa putus asa yang dirasakan oleh banyak pihak terkait dengan kapasitas PBB, terutama DK PBB, dalam merespons dinamika global. "Mereka sangat aktif dan vokal dalam beberapa isu, tetapi tidak begitu dalam isu-isu lainnya. Jadi, akibatnya, ada kesenjangan kredibilitas," tambahnya. Kesenjangan ini berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat global terhadap institusi internasional yang seharusnya dapat diharapkan untuk memberikan solusi bagi berbagai tantangan.
Di era di mana kompleksitas masalah dunia semakin meningkat, seperti konflik bersenjata, perubahan iklim, dan krisis kesehatan global, memperkuat fungsi dan tugas DK PBB menjadi lebih penting dari sebelumnya. Reformasi DK PBB tidak hanya diperlukan untuk menjamin efektivitas lembaga ini, tetapi juga untuk memastikan bahwa suara negara-negara kecil dan negara berkembang dapat didengar dan diperhitungkan.
Tanggapan terhadap reformasi DK PBB juga datang dari berbagai kalangan, menggambarkan bahwa ini bukanlah masalah yang baru, melainkan sudah menjadi agenda yang berlarut-larut. Banyak negara yang memiliki cita-cita untuk menciptakan dewan keamanan yang lebih adil dan representatif. Menurut mereka, reformasi yang tepat dapat menciptakan struktur yang tidak hanya efisien, tetapi juga mampu menjawab tantangan global yang ada saat ini.
Dari perspektif geopolitik, perubahan yang berkelanjutan dalam struktur kekuasaan global juga mengharuskan DK PBB untuk beradaptasi. Realitas saat ini menunjukkan bahwa kekuatan dunia tidak lagi hanya berada pada lima negara tetap yang memiliki hak veto. Negara-negara sedang berusaha mendapatkan pengaruh yang lebih besar dan menuntut agar suara mereka juga diperhitungkan dalam pengambilan keputusan internasional. Hal ini menciptakan tantangan baru bagi DK PBB, di mana integrasi suara negara-negara berkembang sangat diperlukan untuk memastikan legitimasi lembaga ini.
Pendukung reformasi DK PBB juga berargumen bahwa penghapusan hak veto atau setidaknya pembatasan penggunaannya adalah langkah pertama yang dapat dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga ini. Mewakili negara-negara anggota yang lebih luas, keputusan yang diambil harus mencerminkan kepentingan global, bukan hanya kepentingan segelintir negara besar. Keberanian untuk mereformasi tidak hanya akan membantu dalam penanganan krisis saat ini tetapi juga membangun fondasi yang lebih kokoh untuk masa depan yang lebih stabil.
Dalam konteks global yang semakin kompleks, tantangan yang dihadapi tidak dapat dipecahkan hanya dengan pendekatan unilateral. Diperlukan komitmen dari semua negara untuk memperjuangkan reformasi DK PBB demi menciptakan tatanan internasional yang lebih strategis dan berlandaskan aturan yang adil. Suksesnya reformasi ini memerlukan keterlibatan semua kepentingan, baik dari negara besar maupun kecil, demi memastikan bahwa institusi ini tetap relevan dan efektif.
Pembaruan dalam struktur DK PBB bukan sekadar tindakan administratif, tetapi sebuah langkah strategis untuk mengembalikan kepercayaan dan kredibilitas penanganan masalah internasional. Keberlangsungan perdebatan mengenai reformasi ini menunjukkan bahwa dunia berkomitmen untuk menciptakan sebuah sistem internasional yang lebih inklusif dan berorientasi pada solusi.
Dengan demikian, memperjuangkan reformasi DK PBB adalah langkah penting untuk menjawab tantangan global yang semakin memerlukan kolaborasi internasional yang erat. Kesadaran akan pentingnya kerja sama multilateral merupakan kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua negara, tanpa terkecuali.