Gaya Hidup

Menkominfo Bela Erina Gudono, Kritik ‘Tone Deaf’ di Tengah Masalah Akses Kesehatan Ibu Hamil

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi baru-baru ini menjadi sorotan publik setelah membela Erina Gudono, menantu Presiden Joko Widodo, yang menggunakan jet pribadi untuk perjalanan ke Amerika Serikat dengan alasan bahwa Erina tengah hamil besar. Pernyataan tersebut diungkapkan Budi Arie dalam sebuah rapat di gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan, Jakarta, pada 10 September 2024. “Pokoknya udahlah. Satu, istrinya Mas Kesang itu kan hamil sudah delapan bulan. Kan nggak boleh naik angkutan umum, pesawat umum, mana boleh,” ungkapnya.

Pernyataan Budi Arie tersebut langsung memicu kritik tajam dari berbagai kalangan. Banyak pihak merasa bahwa argumentasi yang diutarakan Menkominfo tidak sejalan dengan realitas yang dialami banyak ibu hamil di Indonesia. Sementara Erina dapat melakukan perjalanan dengan nyaman menggunakan jet pribadi, ibu-ibu hamil lainnya di tanah air masih berjuang keras untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang memadai. Kondisi ini menjadi sorotan karena angka kematian ibu hamil di Indonesia tetap tinggi, bahkan dalam situasi yang seharusnya bisa dicegah.

Menurut data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2022, terdapat 4.005 kasus kematian ibu yang disebabkan oleh berbagai faktor terkait kehamilan. Angka ini meningkat menjadi 4.129 kasus pada tahun 2023. Dalam laporan yang dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2020, dilaporkan bahwa secara global, setiap dua menit, seorang perempuan meninggal dunia akibat sebab yang dapat dicegah terkait kehamilan dan persalinan. Di Indonesia, kondisi serupa juga teramati, dimana tingginya angka kematian ibu hamil sering kali disebabkan oleh keterlambatan dalam diagnosis dan rujukan ke fasilitas kesehatan yang memadai, seperti yang dijelaskan oleh Dr. Gde Suardana, Sp. O.G.

Dilansir dari kemenkes.go.id, Dr. Gde Suardana menyatakan bahwa terlambatnya diagnosis berujung pada beberapa kasus ibu hamil yang datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi kritis. “Terlambat menegakkan diagnosis itu menyebabkan dia (ibu hamil) datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi yang, istilahnya, kurang baik kondisinya,” ujarnya. Beberapa kondisi yang kerap terlambat dideteksi meliputi preeklamsia, eklamsia, pendarahan, dan infeksi—faktor-faktor yang berkontribusi signifikan terhadap kematian ibu selama kehamilan.

WHO merekomendasikan pemeriksaan kehamilan antenatal care (ANC) setidaknya delapan kali selama masa kehamilan, sementara Kementerian Kesehatan Indonesia merekomendasikan minimal enam kali kunjungan. Hal ini bertujuan untuk menurunkan angka kematian ibu di negeri ini. Namun, seiring dengan rekomendasi tersebut, banyak ibu hamil yang masih menghadapi tantangan dalam mengakses fasilitas kesehatan.

Kondisi geografis yang sulit di banyak daerah menjadi salah satu penyebab utama dari rendahnya akses terhadap layanan kesehatan. Inilah yang membuat penanganan dan rujukan pasien menjadi semakin kompleks. Keterlambatan dalam mendeteksi kegawatdaruratan seperti preeklamsia dan eklamsia, yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah, serta risiko pendarahan, memerlukan penanganan yang cepat dan akses yang memadai terhadap fasilitas kesehatan yang berstandar.

Kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan untuk ibu hamil menjadi perhatian utama bagi masyarakat dan tenaga medis. Di tengah sorotan ini, banyak netizen dan aktivis kesehatan yang mengungkapkan keprihatinan mereka mengenai pernyataan Menkominfo dan situasi yang dihadapi oleh perempuan hamil lainnya. Di media sosial, beredar berbagai sindiran dan kritik terhadap Menkominfo, mengingat banyaknya ibu yang tidak mendapatkan layanan kesehatan yang layak dan harus berjuang sendiri untuk keselamatan mereka dan bayi yang mereka kandung.

Salah satu komentar mencolok datang dari komedian Bintang Emon, yang membandingkan nasib Erina Gudono dengan nasib kakaknya yang hamil yang terpaksa menggunakan transportasi umum seperti JakLingko. Situasi ini menunjukkan disparitas yang kuat dalam akses dan perlakuan bagi ibu hamil, di mana kaum elite dapat dengan mudah mendapatkan fasilitas yang lebih nyaman, sementara lainnya harus berjuang dalam keterbatasan.

Dukungan bagi akses kesehatan harus diberlakukan secara merata, tanpa ada diskriminasi berdasarkan status sosial. Menyusul implikasi dari pernyataan ini, beberapa pihak, termasuk organisasi non-pemerintah dan aktivis kesehatan, menyerukan tindakan untuk memperbaiki sistem kesehatan di Indonesia, khususnya bagi ibu hamil yang berisiko tinggi.

Masyarakat berharap bahwa pemerintah akan mengambil langkah nyata untuk meningkatkan fasilitas kesehatan yang lebih baik dan akses yang lebih luas bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan yang sedang hamil. Pendekatan yang lebih komprehensif dan inklusif diperlukan untuk menanggulangi isu ini agar setiap ibu di Indonesia dapat mendapatkan perhatian dan perlindungan yang seharusnya, tanpa memandang tingkat ekonomi atau status sosial mereka.

Kenyataan bahwa ibu hamil di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam mendapatkan layanan kesehatan yang memadai adalah seruan bagi semua pihak untuk berkolaborasi dalam mencari solusi. Uji coba yang dilakukan di berbagai daerah menunjukkan adanya perubahan positif ketika akses layanan kesehatan ditingkatkan. Diperlukan kerjasama antara pemerintah, lembaga kesehatan, dan masyarakat untuk memastikan bahwa angka kematian ibu hamil dapat ditekan dan setiap ibu mendapatkan haknya untuk hidup dan melahirkan dengan selamat.

YouTube video

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button