Sains

Mengapa Sulit bagi Ilmuwan Mengukur Usia Bintang? Temukan Alasannya!

Dengan kemajuan teknologi teleskop luar angkasa, kita dapat melihat jauh melampaui sistem tata surya kita dan mengamati planet-planet yang jauh, lubang hitam, dan bahkan beberapa galaksi tertua yang ada. Namun, meskipun banyak kemajuan dalam astronomi, masih ada satu aspek penting dari bintang yang sulit dipahami: seberapa tua usia bintang itu. Meskipun astronom telah mengamati ribuan bintang dari berbagai jenis, baik di galaksi kita maupun di luar sana, menentukan usia bintang tetap menjadi tantangan.

Siklus Hidup Bintang

Siklus hidup dasar bintang sudah sangat dipahami. Setiap bintang dimulai sebagai sebuah bola gas yang berkilauan, melalui fase ‘muda’ yang cerah dan penuh kekacauan sebelum mencapai fase yang lebih stabil yang dikenal sebagai bintang deret utama, mirip dengan Matahari kita. Namun, ketika bintang mencapai fase kematangan tersebut, yang bisa berlangsung selama miliaran tahun, sulit untuk mengetahui seberapa tua bintang itu. Dalam periode ini, bintang cenderung stabil, sehingga tidak banyak perbedaan yang dapat dilihat antara bintang yang berusia satu miliar tahun dengan yang berusia sepuluh miliar tahun atau lebih. Hal ini menjadi masalah yang menyulitkan para ilmuwan untuk mengukur umur bintang secara akurat.

Satu hal yang diketahui oleh para astronom adalah bahwa bintang yang lebih masif cenderung menghabiskan bahan bakar mereka lebih cepat, yang berarti mereka memiliki umur yang lebih pendek. Namun, saat mengamati bintang tertentu di langit dan mencoba menentukan usia mereka, astronom masih menghadapi tantangan.

Mengukur Usia Bintang melalui Rotasi

Salah satu cara yang mungkin untuk menentukan usia bintang adalah dengan melihat kecepatan rotasi bintang tersebut. Ketika bintang lahir, mereka berputar dengan sangat cepat, tetapi seiring berjalannya waktu, kecepatan rotasi tersebut akan melambat. Ini terjadi karena bintang mengeluarkan partikel bermuatan, yang dikenal sebagai angin bintang, yang berinteraksi dengan medan magnet bintang tersebut. Interaksi ini menyebabkan bintang secara bertahap melambat dalam proses yang dikenal sebagai "rem magnetik".

Namun, efek dari proses ini tidaklah sederhana. Bintang yang berputar sangat cepat akan memiliki medan magnet yang kuat, dan karena itu akan melambat lebih cepat. Seiring waktu, kebanyakan bintang cenderung mengikuti evolusi yang serupa, sehingga ketika bintang berusia satu miliar tahun, mereka biasanya akan berputar dengan kecepatan yang hampir sama seperti bintang lain dengan massa dan usia yang serupa. Dengan kata lain, jika para ilmuwan bisa mengukur baik kecepatan rotasi maupun massa bintang, mereka bisa memperkirakan usia bintang tersebut.

Pengukuran rotasi dapat dilakukan dengan mengamati penurunan kecerahan yang disebabkan oleh daerah yang lebih dingin pada bintang, yang disebut bintik bintang (mirip dengan bintik matahari pada Matahari kita).

Peran Teknologi AI dalam Mengukur Usia Bintang

Para ilmuwan seperti Zachary Claytor dari Universitas Florida sedang bekerja pada program untuk mengidentifikasi waktu rotasi bintang menggunakan kecerdasan buatan (AI). Mereka mulai dengan melatih jaringan saraf pada data simulasi, agar nantinya bisa menganalisis data nyata. Program ini memungkinkan pengguna untuk mengatur berbagai variabel, misalnya kecepatan rotasi bintang, jumlah bintik, dan umur bintik tersebut. Setelah itu, program akan menghitung seberapa bintik muncul, berkembang, dan memudar seiring bintang berputar, serta mengubah evolusi bintik tersebut menjadi kurva cahaya—apa yang bisa kita ukur dari jarak jauh.

Teleskop Nancy Grace Roman: Harapan untuk Mengukur Usia Bintang

Untuk mengukur rotasi bintang yang sebenarnya, para ilmuwan memerlukan alat yang canggih. Inilah yang ingin dilakukan astronom dengan teleskop baru yang akan diluncurkan pada tahun 2027, yaitu Teleskop Luar Angkasa Nancy Grace Roman. Teleskop Roman akan mengamati jutaan bintang dalam survei besar, dengan fokus pada gumpalan di pusat galaksi kita yang padat dengan bintang-bintang.

Teleskop ini akan mencari perubahan kecerahan di berbagai bintang—yang berpotensi menunjukkan berbagai hal, mulai dari keberadaan eksoplanet hingga bintik bintang yang bisa digunakan untuk mempelajari rotasi. Dengan menggabungkan data dari Roman dengan model AI yang sedang dikembangkan, para peneliti berharap bisa mendapatkan data tentang rotasi bintang dalam skala besar.

" Kita bisa menguji variabel mana yang berpengaruh dan apa yang bisa kita ambil dari data Roman tergantung pada berbagai strategi survei. Ketika kita akhirnya mendapatkan data tersebut, kita sudah memiliki rencana yang siap digunakan," ujar Jamie Tayar dari Universitas Florida, yang juga terlibat dalam program untuk mengidentifikasi kurva cahaya yang dapat digunakan untuk mengukur rotasi.

Dengan semua perkembangan ini, harapan ada di depan kita untuk memahami lebih baik tentang usia bintang dan siklus hidupnya. Penggunaan teknologi yang semakin canggih, baik dalam pengamatan langsung maupun analisis menggunakan kecerdasan buatan, diharapkan dapat membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang masih membingungkan tentang bintang-bintang di alam semesta yang luas ini.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button