Indonesia

Menanti Kejelasan: Menggantung Nasib Jutaan PRT di Tengah Ketidakpastian Hukum

Nasib RUU tentang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) kembali terkatung-katung di tengah ketidakpastian. Meski RUU ini telah diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sejak Februari 2004, lebih dari dua dekade berlalu, belum ada tanda-tanda pengesahan dari para wakil rakyat. Ironisnya, saat RUU ini terabaikan, kondisi PRT di Indonesia semakin memprihatinkan, seolah-olah menempatkan mereka dalam situasi yang serupa dengan perbudakan modern.

Keberadaan RUU PPRT sangat penting, terutama mengingat Indonesia adalah negara yang mengklaim mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, selama dua puluh tahun, RUU ini terjegal di tengah kepentingan politik para elite yang lebih memilih mengesahkan RUU yang berdampak langsung pada kekuasaan mereka sendiri. Sebagai perbandingan, RUU tentang Kementerian Negara dan RUU Dewan Pertimbangan Presiden, yang juga sedang dalam proses pengesahan, jelas lebih menguntungkan segelintir elite politik dibandingkan dengan RUU PPRT yang berkaitan langsung dengan jutaan pekerja rumah tangga di seluruh Indonesia.

Situasi ini mengungkapkan kontras yang mencolok antara kepentingan politik dengan kebutuhan masyarakat. Di satu sisi, RUU Kementerian Negara dan Whantimpres diproses dengan cepat karena terkait langsung dengan pembagian kekuasaan di kalangan elite. Di sisi lain, nasib PRT yang berjumlah sekitar 5 juta orang—mayoritanya adalah perempuan—seringkali terabaikan. Ketidakpedulian ini bukan hanya mencerminkan kegagalan DPR untuk mengutamakan kesejahteraan rakyat, tetapi juga menunjukkan kurangnya kepekaan sosial dari para wakil rakyat terhadap kondisi buruh yang berada di lapisan paling bawah masyarakat.

Ketiadaan payung hukum untuk pekerja rumah tangga merupakan salah satu persoalan serius yang membuat mereka rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) mencatat, antara tahun 2021 hingga Februari 2024, terdapat 3.308 laporan kasus kekerasan yang dialami oleh PRT. Kasus-kasus ini meliputi berbagai bentuk kekerasan, baik fisik maupun psikis, serta pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka.

Pengabaian terhadap RUU PPRT ini juga menunjukkan perspektif stigmatisasi terhadap pekerja rumah tangga. PRT kerap dipandang sebelah mata, dianggap sebagai pekerja rendahan, sehingga tidak mendapatkan pengakuan yang semestinya sebagai tenaga kerja. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengidentifikasi bahwa masih banyak faktor yang menyebabkan kerentanan PRT, mulai dari stigma hingga perlindungan hukum yang sangat minim.

Di tengah situasi ini, ada harapan baru di penghujung masa jabatan DPR periode 2019-2024. Ini menjadi peluang yang tak boleh disia-siakan oleh para wakil rakyat untuk meninggalkan legasi berharga yang diperjuangkan demi kesejahteraan jutaan PRT. Mengingat banyaknya keuntungan politik bagi DPR melalui pengesahan RUU yang pro terhadap rakyat, diharapkan kehadiran UU PPRT dapat menjadi simbol perubahan yang mendukung keadilan sosial.

Perjuangan untuk mengesahkan RUU PPRT tidak hanya tentang pengakuan status PRT sebagai pekerja, tetapi juga tentang menciptakan perlindungan hukum. Dengan adanya undang-undang ini, PRT bisa mendapatkan hak-hak mereka, termasuk pengaturan upah yang layak, lingkungan kerja yang aman, dan akses untuk mengadukan pelanggaran yang mereka alami. Sehingga, RUU ini bukan hanya sekadar regulasi, tetapi juga pengakuan atas keberadaan dan kontribusi mereka dalam sistem sosial-ekonomi.

Sungguh ironis, ketika DPR sibuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan politik segelintir elit, di sisi lain, jutaan PRT masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan yang layak. Kepekaan para wakil rakyat seharusnya dapat diarahkan untuk memahami bahwa nasib jutaan PRT berada di tangan mereka. Memperjuangkan RUU PPRT bisa menjadi langkah awal untuk memberikan keadilan bagi mereka yang selama ini terpinggirkan.

Melihat bahwa pembahasan RUU PPRT terhenti di tengah jalan, diharapkan ada kesediaan untuk membangkitkan kembali diskusi mengenai pengesahan RUU ini. Momen kritis ini memberikan kesempatan bagi DPR untuk membuktikan bahwa mereka adalah wakil rakyat yang peduli dan berkomitmen untuk membawa perubahan. Terlambat memang, tetapi tetap lebih baik daripada tidak sama sekali.

RUU tentang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga bukan sekadar sebuah dokumen hukum, melainkan sebuah harapan bagi para PRT di seluruh Indonesia. Dengan adanya pengesahan RUU ini, diharapkan PRT dapat menjalani profesinya dengan aman dan terhormat, sekaligus mendapatkan perlindungan yang layak dari negara. Jika DPR dapat menyuarakan kepentingan rakyat, maka secara tidak langsung mereka telah memberikan kontribusi dalam upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button