Jakarta – Dalam konteks konfrontasi berkepanjangan antara Hamas dan Israel, isu kejahatan perang tetap menjadi sorotan penting. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengidentifikasi berbagai dugaan kejahatan perang yang dilakukan oleh Hamas, merujuk pada tindakan organisasi tersebut dalam periode satu tahun setelah 7 Oktober 2023. Pemimpin ICC, Jaksa Karim A.A Khan KC, telah mengajukan sejumlah dakwaan berdasarkan Statuta Roma yang mengatur hukum internasional terkait kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Dugaan Kejahatan Perang oleh Hamas mencakup sejumlah poin penting yang sangat relevan untuk dimengerti, terutama dalam konteks peristiwa yang menimpa ribuan warga sipil. Menurut ICC, kejahatan yang diduga dilakukan oleh pemimpin Hamas seperti Yahya Sinwar, Muhammad Deif, dan Ismail Haniyeh, antara lain:
Pemusnahan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan: Tindakan ini bertentangan dengan pasal 7(1)(b) Statuta Roma. Ini menunjukkan bahwa Hamas diduga terlibat dalam tindakan yang berdampak pada keberadaan individu yang tidak bersalah.
Pembunuhan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang: Melanggar pasal 7(1)(a) untuk kemanusiaan dan pasal 8(2)(c)(i) untuk kejahatan perang. Dugaan ini mencakup pembunuhan ratusan warga sipil selama serangan yang diluncurkan Hamas.
Penyanderaan: Tindakan penyanderaan yang dilakukan Hamas dianggap sebagai kejahatan perang dan melanggar pasal 8(2)(c)(iii).
Pemerkosaan dan tindakan kekerasan seksual lainnya: Kejahatan ini ditemukan bertentangan dengan pasal 7(1)(g) serta pasal 8(2)(e)(vi). Tak hanya ditujukan sebagai pelanggaran kemanusiaan, tetapi juga terlaksana dalam konteks penahanan.
Penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang: Melanggar pasal 7(1)(f) dan pasal 8(2)(c)(i), di mana penyiksaan ada dalam konteks penahanan yang tidak manusiawi.
Tindakan tidak manusiawi lainnya: Dugaan ini tercantum dalam pasal 7(1)(k), menunjukkan perlakuan terhadap individu yang dihadapkan dalam situasi sulit dan berbahaya.
Perlakuan kejam: Ini merupakan pelanggaran pada pasal 8(2)(c)(i), sehingga meningkatkan keparahan tindakan yang dilakukan Hamas terhadap warga sipil.
- Tindakan yang merendahkan martabat pribadi: Melanggar pasal 8(2)(c)(ii), tindakan ini dirasa perlu diangkat dalam laporan terkait perlakuan terhadap para sandera.
Jaksa Khan mencatat bahwa Hamas bertanggung jawab atas pembunuhan ratusan warga sipil Israel dan menculik setidaknya 245 orang yang kemudian disekap dalam kondisi memprihatinkan. Kondisi di mana para sandera diperlakukan secara tidak manusiawi sangat dikhawatirkan, terutama dengan adanya laporan mengenai kekerasan seksual yang dialami oleh para korban.
Pertimbangan ini juga mencerminkan rangkaian serangan yang terencana dengan baik oleh Hamas, yang bertujuan untuk menggempur aspek-aspek vital dari masyarakat Israel, terutama dalam konteks keamanan sipil. Serangan yang dimulai pada tanggal 7 Oktober 2023 telah dianggap sebagai salah satu puncak dalam konflik yang terus berlanjut antara kedua belah pihak.
Di sisi lain, ICC sebelumnya juga telah mendakwa pejabat tinggi Israel seperti Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada bulan Mei lalu. Hal ini menunjukkan bahwa ICC berkomitmen untuk memberikan perhatian yang sama terhadap kedua pihak dalam konflik ini, sekaligus menekankan pentingnya akuntabilitas dalam pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Mengamati perkembangan ini, perlu dicatat bahwa hanya Yahya Sinwar dari tiga pemimpin Hamas yang didakwa oleh ICC yang masih hidup, sementara dua lainnya, Muhammad Deif dan Ismail Haniyeh, dilaporkan telah tewas pada bulan Juli 2024. Hal ini menambah kompleksitas dalam proses penegakan hukum karena pergeseran kepemimpinan di dalam organisasi tersebut.
Dalam konteks ini, yang diharapkan adalah bahwa ICC akan terus menggunakan yurisdiksinya untuk menginvestigasi dan mengambil tindakan hukum terhadap pelanggaran yang terjadi, baik dari pihak Hamas maupun Israel. Dengan begitu, proses mencari keadilan bagi para korban konflik yang telah menderita selama ini dapat dimulai, dan harapan untuk perdamaian yang lebih baik di wilayah tersebut tidak lagi hanya menjadi angan-angan.
Dalam narasi yang berkembang, penting untuk memahami bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak mengenal batas wilayah, dan seluruh dunia memiliki tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut secara hukum dan etis. Keberadaan ICC adalah simbol harapan bagi banyak orang di belahan dunia yang masih beradu dengan konflik dan ketidakadilan.