Kesehatan

Lebih dari Sekadar Pamer Alat Kelamin: Memahami Fenomena Eksibisionis di Masyarakat

Belum lama ini, jagat maya Indonesia dihebohkan oleh peristiwa yang melibatkan seorang mahasiswa asal Lampung, yang menjadi tersangka karena memperlihatkan alat kelaminnya di sebuah minimarket. Kasus ini dengan cepat mencuri perhatian publik dan menimbulkan berbagai reaksi, terutama terkait dengan potensi adanya gangguan mental yang dialami oleh pelaku. Diduga, tindakan yang dilakukannya merupakan manifestasi dari eksibisionisme, sebuah gangguan yang mendapatkan perhatian lebih dalam literatur psikologi.

Menurut laman Alodokter, eksibisionisme merupakan gangguan mental di mana individu yang mengalaminya merasakan kepuasan seksual ketika memperlihatkan alat vitalnya kepada orang yang tidak dikenal. Berbeda dengan reaksi orang pada umumnya yang merasa malu jika alat kelaminnya terlihat oleh orang lain, mereka yang mengalami eksibisionisme justru merasakan rangsangan seksual ketika situasi tersebut terjadi. Ironisnya, reaksi shock atau jijik dari orang lain malah bisa menambah gairah bagi pelaku.

Dalam klasifikasi gangguan mental yang terdapat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), eksibisionisme lebih sering ditemukan pada pria, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga dapat mengalaminya dalam kasus tertentu. Hal ini menjadi perhatian serius mengingat dampak psikologis yang ditimbulkan tidak hanya bagi pelaku, tetapi juga bagi korban.

Bentuk-Bentuk Perilaku Eksibisionis juga beragam dan dapat muncul dalam berbagai cara. Beberapa di antaranya adalah:

  1. Anasyrma: Tindakan membuka pakaian atau mengangkat rok di tempat umum tanpa mengenakan pakaian dalam.
  2. Candaulism: Memperlihatkan tubuh pasangan kepada orang lain untuk mendapatkan kepuasan seksual.
  3. Martymachlia: Memperlihatkan aktivitas seksual seperti masturbasi di depan orang lain.
  4. Telephone scatologia: Fantasi seksual melalui percakapan telepon tanpa izin.

Berdasarkan sasaran yang dituju oleh pelaku, eksibisionisme juga dapat dibedakan. Pelaku mungkin merasa terangsang ketika menunjukkan alat kelamin kepada anak-anak, orang dewasa, atau bahkan keduanya. Ini menunjukkan kompleksitas dan keragaman perilaku dalam gangguan ini, yang pada akhirnya berpotensi menempatkan korban dalam situasi yang merugikan.

Ada berbagai faktor penyebab di balik eksibisionisme. Mayoritas kasus berakar dari masalah psikologis dan lingkungan sosial. Eksibisionisme terbagi menjadi dua tipe umum: eksibisionis murni dan eksibisionis eksklusif.

Eksibisionis murni biasanya terjadi pada remaja akhir atau dewasa muda. Tipe ini sering kali dikaitkan dengan dorongan seksual yang tidak tersalurkan dengan baik dan umumnya akan mereda seiring dengan bertambahnya usia. Sebaliknya, eksibisionis eksklusif dapat muncul karena ketidakmampuan individu untuk menjalin hubungan romantis yang sehat atau melakukan aktivitas seksual yang normal. Dalam kasus ini, perilaku menyimpang menjadi cara untuk mencari alternatif pemenuhan seksual.

Mengingat dampak yang bisa ditimbulkan, baik bagi pelaku maupun korban, penanganan psikologis yang tepat menjadi sangat penting. Pelaku eksibisionisme perlu mendapatkan perhatian khusus agar tidak terus melakukan tindakan yang dapat mengancam orang lain. Di sisi lain, korban dari tindakan ini dapat mengalami trauma psikologis yang lama, sehingga perlindungan dan dukungan emosional sangat diperlukan.

Kasus mahasiswa Lampung ini membawa wacana tentang eksibisionisme ke permukaan, mendorong masyarakat untuk lebih memahami perilaku menyimpang ini dengan lebih dalam. Penting bagi masyarakat untuk menyikapi tindakan seperti ini dengan bijaksana, bukan hanya melihat dari sudut pandang moralitas, tetapi juga memahami sisi psikologis yang mungkin melatarbelakanginya.

Keberadaan gangguan mental adalah hal yang serius dan seringkali disertai dengan stigma negatif. Pendidikan tentang kesehatan mental, termasuk pemahaman tentang eksibisionisme, sangat diperlukan untuk mengurangi stigma dan mendorong orang untuk mencari bantuan. Dengan cara ini, kita tidak hanya melindungi masyarakat dari perilaku yang merugikan, tetapi juga memberikan dukungan bagi mereka yang mengalami gangguan tersebut untuk mencari pemulihan dan penyembuhan.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan mental dalam masyarakat, harapannya, kasus seperti yang terjadi di Lampung ini dapat mendorong diskusi yang lebih luas mengenai gangguan seksual dan kesehatan mental secara umum, sehingga masyarakat dapat mengambil langkah yang lebih tepat dalam menangani perilaku menyimpang dan memberikan dukungan yang diperlukan.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button