Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin, resmi diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Konstitusi Thailand pada Rabu, 14 Agustus 2024. Keputusan tersebut diambil setelah Srettha dianggap melanggar aturan etika karena menunjuk mantan pengacara yang pernah menjalani hukuman penjara ke dalam kabinetnya. Kasus ini menambah lapisan kompleksitas dalam politik Thailand yang sudah cukup rumit, terutama setelah dua dekade mengalami kudeta dan keputusan pengadilan yang berperan meruntuhkan pemerintah dan partai-partai politik.
Mahkamah Konstitusi melakukan pemungutan suara dengan hasil lima melawan empat, yang mengarah pada pencopotan Srettha, menjadikannya sebagai perdana menteri keempat dalam 16 tahun terakhir yang harus menyingkir dari posisinya akibat putusan serupa. Dalam pernyataan resmi, Hakim Punya Udchachon menjelaskan bahwa tindakan pemberhentian ini merupakan langkah penting untuk menjaga integritas pemerintahan di Thailand.
Pencopotan Srettha yang terjadi kurang dari satu tahun setelah ia menjabat menciptakan ketidakpastian politik yang terus berlanjut. Parlemen Thailand kini dihadapkan pada kewajiban untuk segera memilih pemimpin baru, di mana koalisi yang dipimpin oleh Partai Pheu Thai direncanakan akan mengadakan pertemuan pada Kamis pukul 10:00 untuk menentukan calon pengganti. Pemungutan suara di parlemen akan berlangsung pada Jumat, di mana calon perdana menteri harus mendapatkan dukungan dari lebih dari separuh anggota, yang terdiri dari 493 orang.
Srettha sendiri menyampaikan kekecewaannya kepada media terkait tuduhan pelanggaran etika yang ditimpakan kepadanya. Ia menyatakan telah bekerja sebaik mungkin dan menunjukkan integritas dalam kebijakan pemerintahannya. "Saya menerima keputusan pengadilan meski merasa kecewa," ungkap Srettha. Dia juga mengungkapkan kekhawatirannya tentang keberlanjutan program-program pemerintah di masa mendatang, termasuk skema stimulus dompet digital Thailand senilai 500 miliar baht yang kini terpaksa ditunda akibat ketidakpastian politik ini.
Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan Srettha pada saat yang kritis ini juga berdampak pada program pemerintah lainnya. Langkah ini berpotensi mengganggu peluncuran program-program penting yang direncanakan dan memunculkan keraguan mengenai keberlangsungan kebijakan ekonomi yang diharapkan mampu mengentaskan kondisi sulit yang sedang dihadapi Thailand saat ini.
Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi sebelumnya juga pernah membubarkan Partai Move Forward (MFP), yang merupakan oposisi populer di Thailand dan mendorong reformasi undang-undang. Dalam konteks ini, Partai Move Forward berusaha untuk tetap relevan dengan mendirikan partai baru pasca-pembubaran. Keputusan untuk memberhentikan Srettha menambah tantangan bagi partai-partai yang berusaha mempertahankan posisi mereka dalam kancah politik yang semakin tidak menentu.
Partai Pheu Thai, yang telah lebih dari satu dekade menjadi partai dominan di Thailand, kini berjuang menghadapi tantangan besar. Dua pemerintahan yang dipimpin oleh partai ini sebelumnya telah digulingkan melalui kudeta. Saat ini, dinasti Shinawatra yang menjadi pendiri partai tersebut, menghadapi ketegangan dengan kekuatan konservatif dan militer yang berusaha mempertahankan pengaruh mereka.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini memberikan indikasi akan adanya keberhasilan atau kebangkitan kembali dari keluarga Shinawatra di kancah politik Thailand. Paetongtarn Shinawatra, putri dari mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, diprediksi akan menjadi salah satu kandidat kuat untuk mengambil alih posisi perdana menteri. Jika terpilih, Paetongtarn akan menjadikannya sebagai perdana menteri ketiga dari dinasti Shinawatra, mengikuti jejak ayahnya dan bibi, Yingluck Shinawatra.
Kondisi ekonomi Thailand semakin memperburuk situasi politik yang sudah tidak stabil ini. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya mencapai 2,7 persen pada tahun 2024, sementara pasar saham mengalami salah satu penurunan terburuk di Asia dengan indeks saham utamanya, SETI, turun sekitar 17 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Situasi ini menyisakan tantangan berat bagi pemerintah yang baru akan terbentuk serta mengharuskan pemimpin baru untuk menghadapi banyak masalah, baik di dalam negeri maupun secara internasional.
Sementara itu, koalisi yang ada di parlemen menunjukkan ketidakpastian mengenai peta kekuasaan dan dukungan dari berbagai elemen politik, yang membuat prediksi ke depan semakin sulit. Politisi dan akuntan akan terus memperdebatkan arah kebijakan pemerintah di tengah harapan para pemilih akan perbaikan ekonomi dan stabilitas politik.
Dalam suasana yang penuh dengan ketidakpastian itu, banyak pihak menantikan keputusan parlemen tentang siapa yang akan mengisi posisi perdana menteri dan bagaimana kebijakan yang akan diterapkan oleh para pemimpin baru di masa mendatang. Penunjukan pemimpin baru ini diharapkan dapat membawa Thailand menuju fase baru yang lebih stabil dan produktif.