Jakarta: Krisis iklim membuat harga kopi semakin pahit. Fenomena ini tidak hanya terjadi di negara pengimpor biji kopi, tetapi juga di Indonesia, yang merupakan salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia. Pada tahun 2022-2023, Indonesia tercatat sebagai negara penghasil kopi terbesar ketiga dengan total produksi mencapai 11,85 juta kantong. Namun, fakta ini tidak serta-merta membuat harga kopi di Tanah Air lebih murah. Berbagai faktor menjadi pemicu kenaikan harga kopi di pasaran.
Salah satu penyebab utama kenaikan harga adalah harga kopi robusta yang telah mencapai rekor tertinggi. Permintaan yang terus meningkat di tengah pasokan yang terhambat akibat kekeringan dan pemanasan global sebagai dampak langsung dari krisis iklim berkontribusi pada kondisi ini. Sejak Maret 2024, harga kopi robusta terus melambung dan pada Agustus mencapai kisaran USD4.066 hingga USD4.173 per ton, yang setara dengan sekitar Rp67,5 juta per ton.
Keadaan yang mengkhawatirkan ini diperburuk oleh penurunan pasokan dari kebun, di mana World Coffee Research memproyeksikan bahwa dunia dapat mengalami kekurangan kopi robusta hingga 35 juta kantong pada tahun 2040. Penurunan produktivitas lahan akibat krisis iklim merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan industri kopi. Meski kopi adalah tanaman yang tumbuh subur di wilayah tropis, tanaman ini sangat rentan terhadap perubahan iklim yang ekstrem.
Perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, serta berkembangnya hama dan penyakit dapat memengaruhi kualitas dan hasil panen kopi dengan signifikan. Prayudi Syamsuri, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun) Kementerian Pertanian, menjelaskan bahwa "dampak yang sangat berarti adalah perubahan iklim karena cuaca yang tidak menentu dan hujan. Iklim yang tidak menentu ini sangat memengaruhi tingkat produktivitas kopi kita per hektarenya."
Krisis iklim telah menjadi ancaman nyata bagi industri kopi. Suhu permukaan bumi yang terus meningkat mengurangi luas lahan yang ideal untuk penanaman kopi. Meskipun tanaman kopi mungkin masih bisa tumbuh, kualitasnya dapat menurun drastis di tengah kondisi lingkungan yang tidak mendukung, terutama bila terjadi kekeringan.
Riset yang dipimpin oleh Roman Gruten menunjukkan bahwa tanaman komersial tropis seperti kopi, alpukat, dan jambu mete adalah di antara yang paling rentan terhadap krisis iklim. Menurut penelitian tersebut, semakin berkurangnya wilayah yang cocok untuk produksi tanaman-tanaman ini secara global menjadi tantangan besar. Oleh sebab itu, masa depan industri kopi tidak hanya tergantung pada permintaan pasar, tetapi juga sangat bergantung pada upaya untuk mengatasi perubahan iklim.
Dampak bagi petani kopi juga menjadi sorotan penting. Para petani sudah mulai merasakan dampak nyata dari perubahan iklim yang memengaruhi hasil panen mereka. Beberapa petani melaporkan bahwa volume hasil panen mengalami penurunan, sementara biaya untuk pemeliharaan dan pengeluaran lainnya meningkat akibat perubahan iklim. Selain itu, sulitnya memprediksi curah hujan dan suhu juga menyebabkan ketidakpastian bagi petani dalam menentukan waktu untuk tanam dan panen.
Berdasarkankan data, banyak petani yang kini beralih ke varietas kopi yang lebih tahan terhadap perubahan iklim. Namun, solusi ini tidak selamanya efektif dan sering membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Penyuluhan dan pendampingan yang tepat dari pemerintah dan lembaga terkait pun menjadi kunci untuk membantu petani beradaptasi dengan situasi yang berubah-ubah ini.
Kebijakan pemerintah juga memegang peranan penting dalam menangani krisis iklim yang mempengaruhi industri kopi. Program-program yang mendukung keberlanjutan dan pengelolaan hutan yang baik bisa menjadi langkah strategis untuk meningkatkan ketahanan sektor pertanian, termasuk kopi. Ini termasuk pengembangan teknologi pertanian yang ramah lingkungan, penyebaran informasi tentang praktik pertanian terbaik, serta pemanfaatan sumber daya lokal secara bijak.
Para pemangku kepentingan di sektor kopi, mulai dari petani hingga pengepul hingga eksportir, perlu bekerja sama untuk menanggulangi isu ini secara komprehensif. Kolaborasi antar negara juga penting, terutama bagi negara penghasil kopi lainnya untuk berbagi pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi dampak krisis iklim.
Jika tidak ada tindakan konkret dalam mengatasi krisis iklim ini, bukan tidak mungkin harga kopi akan terus meroket, membuatnya semakin "pahit" bagi konsumen di seluruh dunia. Sementara itu, bagi petani di lapangan, tantangan yang dihadapi tidak hanya sekedar isu ekonomi, tetapi sebuah perjuangan untuk kelangsungan hidup mereka.
Dengan kebutuhan akan upaya bersama dan dukungan dari berbagai pihak, diharapkan harga kopi dapat stabil kembali, dan petani kopi dapat terus menghasilkan biji kopi berkualitas tinggi meskipun di tengah tantangan yang ada. Ketangguhan industri kopi akan menjadi cerminan dari berbagai usaha yang dilakukan untuk melawan dampak perubahan iklim yang berlangsung saat ini.