Sains

Kontroversi Influencer Virtual: Bagaimana Mereka Menguasai Media Sosial?

Dalam era digital yang terus berkembang, fenomena influencer virtual sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia media sosial. Dengan kemajuan teknologi AI, menciptakan "kepribadian" buatan dalam waktu singkat menjadi hal yang mudah. Berbagai perintah bahasa alami dapat digunakan untuk mendefinisikan penampilan dan cara berbicara dari avatar virtual. Meskipun influencer virtual bukanlah hal baru, mereka telah menarik perhatian banyak orang dan brand sejak kemunculan pertama mereka.

Pentingnya Popularitas Influencer Virtual

Influencer virtual pertama yang mencuri perhatian adalah Lil Miquela, yang mulai dikenal pada tahun 2016. Sejak saat itu, influencer virtual terus tumbuh dalam popularitas. Mereka bukan hanya sekadar karakter fiktif; beberapa di antaranya telah menjalin kemitraan dengan merek-merek besar seperti Prada, Diesel, dan Moncler. Menariknya, influencer-influencer ini tidak hanya sekedar wajah iklan, tetapi juga mampu menghasilkan pendapatan yang signifikan. Contohnya, Aitana, yang merupakan model AI dari seorang wanita berusia 25 tahun, dilaporkan menghasilkan hingga 10.000 Euro setiap bulan di Spanyol.

Selain menarik perhatian para pengiklan dengan tarif yang menggiurkan, influencer virtual seperti Lil Miquela telah meraih jutaan pengikut di platform seperti Instagram dan TikTok. Menurut laporan terbaru, pasar untuk kepribadian online yang dihasilkan komputer diperkirakan mencapai 2,8 miliar Euro pada tahun 2023. Dalam hal ini, merek seperti Porsche telah mengambil langkah strategis untuk berinvestasi dalam perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang influencer virtual.

Engagement dan Pengaruh yang Meningkat

Salah satu alasan utama mengapa merek mulai melirik influencer virtual adalah tingkat keterlibatan yang lebih tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa konten yang diposting oleh influencer virtual sering kali mendapatkan lebih banyak interaksi dibandingkan dengan influencer manusia. Misalnya, Lil Miquela, yang telah menghasilkan sekitar 2 juta dolar per tahun untuk konten merek, menunjukkan betapa efektifnya influencer virtual dalam strategi pemasaran.

Studi yang dilakukan oleh Harvard Business Review menemukan bahwa influencer virtual dapat meningkatkan pengakuan merek yang pada akhirnya dapat menarik customer untuk membeli produk yang mereka promosikan. Berbagai merek, baik besar maupun kecil, tertarik menggunakan influencer virtual dalam kampanye yang dijalankan. Dari L’Oréal hingga Puma, influencer virtual menunjukkan kemampuan untuk menjangkau audiens yang lebih luas tanpa banyak halangan.

Kemudahan dan Keuntungan Menggunakan Influencer Virtual

Merek yang ingin mendiversifikasi kelompok influencer manusia sering kali menghadapi tantangan logistik. Di sinilah influencer virtual menawarkan convenience yang tak ternilai. Mereka dapat dengan mudah disesuaikan untuk membidik berbagai segmen demografis, tanpa terhalang oleh batasan manusia seperti gender dan ras. Misalnya, proyek seperti Blu, humanoid alien dari planet lain, menunjukkan kemampuan untuk menyentuh hati berbagai kelompok tanpa batasan yang ada pada manusia asli.

Faktor lain yang membuat influencer virtual menarik adalah kurangnya risiko yang melekat pada mereka. Ketika merek mengandalkan influencer manusia, ada risiko bahwa komentar atau perilaku masa lalu mereka dapat merusak reputasi brand. Di sisi lain, influencer virtual tidak memiliki "beban" pribadi, yang menjaga citra merek tetap aman.

Namun, ada aspek yang lebih teknis yang perlu diperhatikan. Pengaruh AI pada influencer virtual, yang didukung oleh kemampuan bahasa alami, memungkinkan mereka untuk terlibat dengan audiens dalam skala yang tidak mungkin dicapai oleh influencer manusia. Mereka dapat mempersonalisasi interaksi dan menjawab pertanyaan dengan cepat, menawarkan pengalaman yang lebih menyeluruh bagi pengikut.

Pertanyaan tentang Keaslian dan Akuntabilitas

Walaupun ada banyak manfaat yang ditawarkan oleh influencer virtual, ada juga kekhawatiran yang belum terjawab. Banyak ahli berpendapat bahwa menggunakan "persona" perangkat lunak untuk memengaruhi manusia dan mengajak mereka untuk berbelanja bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak peka. Keabsencean sifat kepribadian dan identitas yang unik menjadi masalah besar dalam konteks pemasaran.

Skeptisisme tentang otentisitas influencer virtual menjadi hal yang penting untuk dibahas. Bagaimana mereka dapat meyakinkan audiens tentang kualitas suatu produk jika mereka tidak pernah merasakannya, seperti pengalaman dalam mencoba kain atau merasakan rasa makanan? Pertanyaan ini menyoroti potensi limitasi bayangan pengaruh mereka terhadap keputusan pembelian.

Lebih jauh, ada juga isu tentang transparansi dan akuntabilitas. Di dunia influencer, masalah pengungkapan iklan berbayar telah menjadi sorotan di mana regulator harus menegur banyak brand tentang hal ini. Influencer virtual dapat menghadirkan solusi untuk masalah ini, tetapi perlu ada batasan dan peraturan yang jelas untuk memastikan bahwa mereka membawa nilai dan keaslian bagi semua pihak yang terlibat.

Secara keseluruhan, influencer virtual adalah bagian dari tren yang semakin berkembang dalam pemasaran digital. Walau membawa banyak keuntungan, tantangan yang dihadapi oleh kehadiran mereka dalam dunia digital tidak dapat dianggap remeh. Diskusi tentang dampak mereka terhadap pemasaran masa depan, otentisitas, dan akuntabilitas akan terus berlangsung, mengingat peran mereka yang semakin penting dalam lanskap media sosial saat ini.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button