Konsistensi penegakan hukum di Indonesia tengah menjadi sorotan, terlebih setelah adanya kasus yang melibatkan mantan Bupati Tanah Bumbu, Mardani Maming. Penegakan hukum yang konsisten merasa semakin mendesak demi memenuhi dua hal krusial, yakni menjaga marwah hukum serta menegakkan keadilan. Hal ini ditegaskan oleh Somawijaya, anggota tim anotasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, dalam keterangannya yang dipublikasikan pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Kasus Mardani Maming menunjukkan betapa pentingnya sistem hukum yang berlandaskan pada prinsip keadilan dan transparansi. Menurut Somawijaya, penegakan hukum harus dilakukan secara objektif, tanpa adanya kepentingan pribadi atau politis. "Untuk menjaga marwah hukum dan keadilan hukum di Indonesia," ujarnya.
Kasus ini berkaitan erat dengan putusan hukum yang melibatkan Mardani Maming, di mana dia dijatuhi hukuman penjara dan denda atas dugaan menerima gratifikasi sebesar Rp118 miliar dari Henry Soetio, mantan Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara. Mardani dituduh melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), namun Somawijaya menilai bahwa penerapan pasal tersebut dalam konteks Mardani seharusnya tidak dilakukan, karena tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam hukum.
Tim Anotasi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran menelaah Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 yang dikeluarkan oleh Mardani. SK tersebut berkaitan dengan Persetujuan Pelimpahan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT Prolindo Cipta Nusantara. Menurut tim, SK yang dikeluarkan tersebut tidak melanggar prosedur operasi standar (SOP) dan tidak bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Somawijaya menekankan bahwa, berdasarkan ketentuan hukum, pemerintah daerah berwenang dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. "Pemerintah Daerah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara berwenang untuk memberikan IUP," jelasnya. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan yang dimiliki oleh seorang kepala daerah dalam melakukan kebijakan publik perlu dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku.
Namun demikian, aspek penerimaan gratifikasi oleh Mardani juga menjadi sorotan. Somawijaya menegaskan bahwa tudingan mengenai penerimaan hadiah berupa uang dan barang tidak didasarkan pada bukti yang kuat. "Tudingan itu hanya bersumber dari asumsi yang tidak memiliki kekuatan pembuktian dan tidak didasarkan pada minimal dua alat bukti dalam fakta persidangan," katanya. Dia merujuk pada fakta di mana tidak ada hubungan kausal antara tindakan beliau dalam menerima hadiah dengan keputusan yang dibuatnya.
Lebih lanjut, anggota tim Anotasi, Elis Rusmiati, juga mempertanyakan penetapan pidana tambahan berupa uang pengganti sebesar Rp110 miliar. Menurutnya, hal tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 UU PTPK yang menyebutkan bahwa uang pengganti hanya dapat dikenakan untuk kerugian negara. Rusmiati menegaskan bahwa uang tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai kerugian negara, melainkan merupakan deviden yang seharusnya menjadi hak Mardani.
Dalam pandangan akademisi hukum, konsistensi dalam penegakan hukum akan berdampak positif bagi kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia. Masyarakat menginginkan keadilan yang tidak hanya berdasarkan pada narasi atau asumsi, tetapi juga pada fakta dan bukti yang nyata. Hal ini penting agar penegakan hukum benar-benar menjadi alat untuk mencapai keadilan, bukan sebaliknya, menjadi alat untuk menekan atau menguntungkan pihak tertentu.
Ketidakpastian dalam penegakan hukum dapat merusak citra hukum dan menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, aturan hukum yang ada harus diterapkan secara konsisten dan transparan. Proses hukum yang fair dan akuntabel menjadi sangat penting untuk menciptakan keadilan, di mana setiap pihak dapat merasa dilindungi dan diadili dengan adil.
Dalam konteks yang lebih luas, masalah ini bukan hanya sekadar kasus Mardani Maming, tetapi juga mengangkat isu yang lebih besar mengenai bagaimana hukum diterapkan di Indonesia. Apakah semua orang diperlakukan setara di hadapan hukum? pertanyaan ini menjadi penting dan relevan, terutama ketika menyangkut pejabat publik dan elite politik.
Harapan untuk penegakan hukum yang lebih baik dan berbasis pada prinsip keadilan semakin mendesak. Konsistensi dalam menegakkan hukum diperlukan agar rakyat bisa merasakan keadilan dan hukum tidak menjadi perjudian bagi mereka yang memiliki kekuasaan dan uang. Dengan adanya penegakan hukum yang konsisten, baik dalam ranah politik maupun dalam ranah hukum, diharapkan integritas sistem hukum di Indonesia bisa terjaga.
Melalui kasus ini, diharapkan semua pihak, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga peradilan, dapat lebih bersikap bijaksana dan profesional. Proses hukum yang baik tidak hanya akan menyelesaikan perkara yang ada, tetapi juga akan menciptakan sebuah iklim hukum yang sehat, di mana keadilan dapat ditegakkan dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dapat meningkat.