Pendidikan

KM ITB Minta Penerima Beasiswa Tidak Dikenakan Program Kerja Paruh Waktu yang Wajib

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) yang mewajibkan penerima beasiswa Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk melaksanakan kerja paruh waktu ditentang oleh Keluarga Mahasiswa (KM) ITB. Pihak KM ITB mengajak institusi untuk mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut, dengan mengusulkan agar program kerja paruh waktu diubah menjadi opsional. Pernyataan ini disampaikan oleh Ketua Kabinet KM ITB, Fidela Marwa Huwaida, berupa keterangan tertulis yang diterima oleh Medcom.id pada 26 September 2024.

Poin utama dari penolakan ini adalah bahwa program kerja paruh waktu sebaiknya tidak diwajibkan bagi seluruh penerima beasiswa. Fidela menekankan bahwa kewajiban tersebut seharusnya tidak menjadi syarat bagi mereka yang mendapatkan keringanan UKT. "Program kerja paruh waktu ini tidak dikenakan kepada seluruh penerima keringanan UKT secara langsung," ungkap Fidela. Jika kebijakan ini tetap diberlakukan, hal tersebut berpotensi memberatkan mahasiswa yang saat ini mungkin tengah menghadapi berbagai tantangan, baik akademik, finansial, maupun pribadi.

Keluarga Mahasiswa ITB berharap ITB dapat menemukan solusi yang lebih adil dalam menangani masalah ini. Fidela meminta agar pihak institusi mempertimbangkan kondisi mahasiswa yang beragam, menekankan pentingnya transparansi dalam setiap keputusan yang diambil. Kondisi keuangan mahasiswa yang berbeda-beda bisa jadi menjadi salah satu faktor utama dalam membahas kebijakan tanggung jawab kerja paruh waktu ini.

Sebelumnya, salah satu informasi yang diterima oleh mahasiswa dari Direktorat Pendidikan ITB terkait dengan kebijakan baru yang mengharuskan kerja paruh waktu diwujudkan dalam bentuk email yang berisi dua formulir gform. Formulir ini ditujukan bagi mahasiswa penerima beasiswa UKT serta mereka yang tidak menerima beasiswa UKT. Ini menunjukkan adanya pembagian dalam perlakuan terhadap mahasiswa berdasarkan status penerimaan beasiswa.

Terdapat beberapa bentuk kerja paruh waktu yang ditawarkan oleh ITB. Pertama, mahasiswa dapat menjadi asisten mata kuliah atau praktik. Kedua, mereka bisa mengambil peran dalam tugas administratif di fakultas, sekolah, program studi, laboratorium, atau unit kerja yang berada di bawah tanggung jawab Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan (WRAM). Ketiga, peran yang ditawarkan juga mencakup bantuan dalam bimbingan kemahasiswaan dan akademik, termasuk memberikan tutorial kepada mahasiswa yang membutuhkan serta membantu bimbingan kegiatan kemahasiswaan atau lomba.

Namun, konsekuensi bagi mahasiswa yang tidak bersedia untuk mengambil kerja paruh waktu menjadi salah satu hal yang dikhawatirkan. Pihak ITB mengindikasikan bahwa keengganan untuk terlibat dalam kerja paruh waktu akan berujung pada evaluasi ulang proses pengajuan keringanan UKT. Hal ini dapat menambah beban psikologis bagi mahasiswa yang mungkin merasa terpaksa untuk mengambil pekerjaan paruh waktu demi mempertahankan status keringanan UKT mereka.

Tenggat waktu yang diberikan untuk pengisian formulir terkait program kerja paruh waktu ini ditentukan sampai dengan 27 September 2024, sehingga mahasiswa diharapkan segera memberikan tanggapan terhadap kebijakan tersebut.

Perbincangan mengenai tanggung jawab akademik dan beban pekerjaan paruh waktu bukanlah isu baru di kalangan mahasiswa. Sebagaimana yang telah banyak dibahas, mahasiswa sering menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan antara studi dan pekerjaan. Kerja paruh waktu bisa jadi menjadi solusi bagi sebagian mahasiswa untuk membantu meringankan beban biaya pendidikan mereka. Namun, jika dijadikan sebagai kewajiban, hal tersebut dapat berpotensi menimbulkan lebih banyak masalah daripada dampak positif yang diharapkan.

Situasi ini menjadi pengingat penting bagi institusi pendidikan tinggi untuk mengutamakan kebebasan mahasiswa dalam memilih bagaimana mereka ingin menyeimbangkan antara pendidikan dan kewajiban lainnya. Komunikasi serta dialog terbuka antara mahasiswa dan pihak universitas menjadi kunci dalam menemukan solusi terbaik bagi semua pihak.

Fidela dalam pernyataannya berharap agar pihak ITB dapat mendengarkan aspirasi mahasiswa dan tidak mengabaikan keberagaman situasi yang dihadapi oleh setiap individu mahasiswa. Langkah ini, menurutnya, tidak hanya akan menciptakan lingkungan akademik yang lebih baik, tetapi juga menunjang keberhasilan mahasiswa dalam menyelesaikan studi mereka tanpa tertekan oleh beban tambahan.

Isu ini diharapkan dapat memicu diskusi lebih lanjut di kalangan mahasiswa dan pihak universitas, untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif dan mendukung kebutuhan serta kondisi mahasiswa yang beragam. Dengan adanya kesadaran akan berbagai tantangan yang dihadapi mahasiswa, diharapkan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan mahasiswa bisa segera terealisasi.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button