Pendidikan

Kita Ternyata Dibohongi: Anggaran Pendidikan Justru Dialokasikan untuk Dana Desa!

Jakarta: Dalam sebuah wawancara dan diskusi terkini, pengamat pendidikan Ki Darmaningtyas dari Tamansiswa mengungkapkan temuan mengejutkan mengenai alokasi anggaran pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Darmaningtyas menyatakan bahwa anggaran pendidikan, yang sudah seharusnya mendukung peningkatan kualitas pendidikan, justru dialokasikan sebagian untuk dana desa. "Mohon maaf kita ternyata kebohongan sejak 2016," ungkapnya, menyoroti bahwa dana desa diambil dari anggaran pendidikan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan pendidikan.

Pernyataan ini ia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara," yang disiarkan di YouTube oleh BPIP RI. Dalam diskusinya, Darmaningtyas menjelaskan bahwa ia tengah menulis buku tentang sepuluh tahun pendidikan di era Presiden Joko Widodo, di mana pengungkapan tentang alokasi anggaran pendidikan tersebut menjadi sorotan utama. Menurutnya, pemangkasan anggaran pendidikan memiliki dampak yang serius terhadap sektor pendidikan. Biaya pendidikan semakin mahal, dan kualitasnya pun tidak memadai, sehingga memungkinkan terjadinya komersialisasi pendidikan yang semakin vulgar.

Alokasi anggaran pendidikan yang terpangkas juga dipertanyakan oleh Mohammad Nuh, mantan Menteri Pendidikan Nasional untuk periode 2009-2014. Ia mengungkapkan bahwa sebanyak 20 persen dari APBN Tahun Anggaran 2024, yang totalnya mencapai Rp665 triliun, telah dialokasikan untuk pendidikan. Namun, lebih dari setengah dari jumlah tersebut, yaitu Rp356,5 triliun atau 52 persen, digunakan untuk transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Panja Pembiayaan Pendidikan Komisi X DPR RI pada 2 Juli 2024, Nuh mempertanyakan bagaimana bisa dana desa tercampur dalam anggaran pendidikan.

Pertanyaan kritis Nuh menegaskan: "Mulai kapan masuk Dana Desa di dalam anggaran pendidikan?" Ia lantas mengingatkan bahwa dana desa yang disalurkan ke kepala desa tidak jelas kaitannya dengan alokasi untuk pendidikan. "Kita tidak bisa berargumen secara politik, tolong argumentasinya jujur dari hati nurani," tegas Nuh, mengingatkan bahwa masalah ini tidak hanya berkaitan dengan kebijakan, tetapi juga dengan amanat konstitusi.

Darmaningtyas menambahkan bahwa kenaikan biaya pendidikan serta berkurangnya aksesibilitas terhadap pendidikan yang terjangkau adalah salah satu konsekuensi dari pengalihan anggaran ini. Menurutnya, fenomena ini menandakan adanya kapitalisasi dan privatisasi pendidikan, di mana pendidikan yang seharusnya menjadi hak setiap warga negara justru dikelola dengan orientasi profit. Hal ini, pada gilirannya, membuat siswa dan orang tua harus menghadapi biaya pendidikan yang terus meningkat.

Ketidakberesan ini juga dipertanyakan oleh Nuh, yang menekankan pentingnya transparansi dalam penggunaan dana pendidikan. "Kalau tidak, itu dosa loh, ini urusannya kan amanah," ungkapnya, seraya mendorong pemerintah untuk memberikan penjelasan yang jujur tentang penggunaan dan peruntukan dana desa yang bersumber dari anggaran pendidikan. Ia khawatir jika dana ini tidak digunakan sesuai tujuan, akan berpotensi menimbulkan penyimpangan dan korupsi dalam pengelolaan anggaran.

Dalam upaya transparansi ini, Nuh juga mengusulkan agar kebutuhan anggaran di luar pendidikan dapat disampaikan dengan jelas kepada masyarakat. "Sampaikan saja, minta izin, agar nyaman," tambahnya, menekankan perlunya kejujuran dalam pengelolaan anggaran agar tidak terjadi komplikasi akibat kekurangan dana dalam dunia pendidikan. Menurutnya, kondisi ini dapat berujung pada masalah di lapangan, seperti Universitas dan sekolah yang rusak serta masalah lain dalam kualitas pendidikan.

Pengamat pendidikan lainnya, seperti Darmaningtyas, juga menganggap adanya alokasi dana dari anggaran pendidikan ke dana desa sebagai sebuah masalah besar yang harus diselesaikan. "Pendidikan murah dan gratis tidak bisa terwujud jika kita terus mempertimbangkan skema alokasi seperti ini," ujar Darmaningtyas. Dengan adanya temuan demikian, sudah selayaknya pihak-pihak terkait, baik itu pemerintah maupun masyarakat, lebih kritis dalam mengawasi alokasi dan penggunaan anggaran pendidikan.

Kekhawatiran akan dampak jangka panjang dari pengalihan anggaran ini pun mengemuka. "Kita khawatir, kualitas pendidikan akan semakin menurun dan tidak mampu bersaing di tingkat global," kata Darmaningtyas. Ditambah dengan sistem pendidikan yang semakin komersial, situasi ini berpotensi menciptakan kesenjangan dalam akses terhadap pendidikan berkualitas.

Dalam konteks kebijakan pendidikan yang berkelanjutan, pengawasan dan pemanfaatan anggaran pendidikan harus dilakukan dengan ketat. Para pemangku kebijakan seharusnya mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran untuk memastikan bahwa penggunaan dana tersebut memang menyasar kepada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Kondisi ini memicu perdebatan yang hangat di kalangan publik dan mengingatkan kita akan pentingnya peran serta masyarakat dalam mengawasi pengelolaan anggaran pendidikan. "Kita membutuhkan suara masyarakat untuk mendorong perubahan yang lebih baik dalam pengelolaan dan distribusi anggaran pendidikan," tegas Darmaningtyas menutup pandangannya.

Dengan segala kejanggalan dan kekhawatiran yang muncul, masyarakat kini lebih berhak untuk menuntut penjelasan dan akuntabilitas dari pemerintah terkait penggunaan anggaran pendidikan, agar hak atas pendidikan yang berkualitas tidak lagi menjadi mimpi yang terabaikan.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button