Teknologi

Ketimpangan Digital Masih Kental di Indonesia Bagian Timur: Tantangan untuk Pemerataan Akses

KETIMPANGAN DIGITAL MASIH KENTAL DI INDONESIA BAGIAN TIMUR

Dalam era yang semakin terhubung secara digital, ketimpangan dalam akses dan kualitas layanan teknologi informasi di Indonesia masih menjadi sorotan utama. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengemukakan bahwa kesenjangan digital merupakan kendala terbesar di tengah percepatan digitalisasi, khususnya di Indonesia bagian timur. Dalam Sidang Tahunan MPR RI 2024 yang diselenggarakan pada 16 Agustus 2024, Bamsoet menekankan bahwa kemajuan teknologi diharapkan menjadi solusi bagi berbagai permasalahan yang dihadapi oleh bangsa. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara wilayah barat dan timur Indonesia.

Digitalisasi Layanan yang Tidak Merata
Secara umum, digitalisasi yang terjadi di Indonesia berkembang pesat dalam satu dekade terakhir. Layanan perdagangan, jasa keuangan, hingga pemerintahan kini semakin mengandalkan teknologi informasi. Namun, meskipun ada kemajuan ini, Bamsoet menyoroti bahwa perkembangan tersebut belum merata, dengan fokus utama masih berada di wilayah Indonesia Barat. Ketimpangan digital di Indonesia bagian timur memang menjadi salah satu tantangan terbesar, di mana akses dan kualitas infrastruktur telekomunikasi sangat terbatas.

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Nezar Patria, juga sejalan dengan pandangan ini. Ia menjelaskan bahwa di sektor bisnis dan ekonomi, transformasi digital harusnya menjadi pendorong pertumbuhan, tetapi keterbatasan akses dan keterampilan digital semakin memperlebar jurang ketimpangan yang ada. Ia menekankan bahwa kesenjangan ini muncul akibat sejumlah faktor, termasuk akses internet yang tidak merata, kualitas infrastruktur yang rendah, serta kurangnya keterampilan digital di masyarakat.

Jenis Kesenjangan yang Terjadi
Nezar Patria mengidentifikasi beberapa jenis kesenjangan digital yang harus menjadi perhatian serius. Pertama, terdapat kesenjangan antara desa dan kota. Wilayah pedesaan sering kali tidak mendapatkan perhatian yang sama dalam pengembangan infrastruktur digital, sehingga mengakibatkan keterbatasan akses internet yang berkualitas. Kedua, kesenjangan generasi antara kelompok usia tua dan muda. Generasi muda cenderung lebih terampil dalam menggunakan teknologi, sementara kelompok usia tua masih sulit beradaptasi dengan perubahan ini. Ketiga, terdapat kesenjangan gender antara laki-laki dan perempuan, di mana perempuan sering kali memiliki akses yang lebih sedikit terhadap teknologi dan pelatihan digital.

Menurut Nezar, ketiga aspek ini harus menjadi fokus utama dalam upaya mengatasi ketimpangan digital. Infrastruktur telekomunikasi yang tidak merata menjadi salah satu penyebab utama, dengan banyak wilayah terpencil yang masih tidak terjangkau oleh jaringan internet yang memadai. Biaya pembangunan infrastruktur di lokasi-lokasi ini pun memerlukan investasi yang sangat besar, sehingga sering kali terabaikan.

Keterampilan Digital yang Minim
Tidak hanya infrastruktur, keterampilan digital yang minim di kalangan masyarakat juga menjadi penghambat dalam pemanfaatan teknologi. Banyak individu di wilayah timur Indonesia yang memiliki akses terbatas terhadap pelatihan dan pendidikan yang dapat meningkatkan kemampuan digital mereka. Hal ini membuat infrastruktur digital yang ada menjadi kurang bermanfaat, karena masyarakat tidak memiliki keahlian untuk memanfaatkannya secara optimal.

Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis untuk membangun infrastruktur telekomunikasi guna mengatasi ketimpangan digital ini. Nezar menjelaskan bahwa ada tiga tingkatan infrastruktur yang telah dibangun, yaitu tulang punggung (backbone), middle mile, dan last mile. Untuk tingkat backbone, pemerintah telah menggelar jaringan serat optik Palapa Ring yang membentang sepanjang 12.229 kilometer, baik di darat maupun bawah laut.

Inisiatif Pemerintah dalam Mengurangi Kesenjangan
Di tingkat middle mile, pemerintah meluncurkan satelit Satria-1 pada tahun lalu dengan kapasitas 150 Gbps. Saat ini, satelit tersebut telah beroperasi pada 4.063 titik layanan publik, yang merupakan bagian dari target untuk mencapai 37.000 titik hingga tahun 2025. Level terakhir, yaitu last mile, menjadi fokus dalam pembangunan base transceiver station (BTS) di lokasi blankspot. Sebanyak 1.665 BTS USO dan tambahan 5.198 titik BTS 4G telah dibangun oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) Kemenkominfo.

Lebih jauh, pemerintah juga menyediakan akses internet di 18.697 titik layanan publik, mencakup sekolah, kantor pemerintah, fasilitas kesehatan, dan instansi pertahanan. Ini adalah upaya untuk memastikan bahwa masyarakat, terutama di wilayah yang lebih terpinggirkan, dapat memanfaatkan teknologi digital untuk berbagai keperluan.

Namun, semua langkah ini tidak akan efektif tanpa dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Pengembangan keterampilan digital harus menjadi perhatian bersama, dengan melibatkan sektor swasta, lembaga pendidikan, dan organisasi masyarakat sipil. Semua pihak diharapkan dapat berkolaborasi untuk mengatasi ketimpangan yang ada, sehingga manfaat digitalisasi dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia, terutama di kawasan timur yang selama ini dianggap terabaikan.

Diharapkan dengan adanya sinergi yang kuat antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta, ketimpangan digital ini dapat diminimalisir. Dengan begitu, setiap warga negara berhak mendapatkan akses yang setara terhadap informasi dan teknologi, tanpa terhalang oleh lokasi geografis atau kondisi sosial ekonomi. Ketimpangan digital yang masih kental di Indonesia bagian timur membutuhkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan agar semua pihak dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang inklusif.

Redaksi Ilmiah

Ilmiah merupakan situs media online yang menyajikan berita dan informasi terbaru di Indonesia yang paling update.
Back to top button