Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang mengatur kemasan rokok polos tanpa merek kini menjadi sorotan utama di berbagai kalangan. Kebijakan ini diusulkan sebagai bagian dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Namun, langkah ini menimbulkan protes dari sektor pertembakauan dan menuai kritik karena dinilai minim kajian, terutama dalam konteks sosial dan ekonomi.
Banyak pihak merasa rencana kebijakan ini tidak mempertimbangkan imbasnya secara utuh. Gitadi Tegas Supramudyo, seorang pakar kebijakan publik dari Universitas Airlangga (UNAIR), menunjukkan bahwa pendapat kesehatan yang digunakan sebagai satu-satunya dasar kebijakan justru menciptakan resistensi dari berbagai sektor. Menurutnya, kebijakan yang ideal seharusnya dibentuk dengan pendekatan multidisiplin yang mempertimbangkan berbagai faktor, bukan hanya dari sudut pandang kesehatan.
Prediksi Gitadi menyebutkan bahwa aturan kemasan rokok polos tanpa merek kemungkinan besar akan menciptakan masalah baru. Ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah solusi yang efektif untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia. Ia berargumen bahwa, alih-alih mengurangi konsumsi rokok, kemasan polos ini justru berpotensi meningkatkan peredaran rokok ilegal. “Kebijakan ini akan memaksa pemerintahan yang baru untuk melakukan pemetaan ulang terhadap masalah yang timbul sebagai dampaknya,” paparnya.
Tak hanya itu, kebijakan ini juga berpotensi merugikan penerimaan negara dari sektor cukai. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran berupaya mencapai target cukai yang tinggi, yaitu tax ratio sebesar 23 persen. Namun, langkah tersebut tampaknya akan terhambat. Para pelaku usaha di sektor tembakau dapat mengalami penurunan pendapatan akibat hilangnya kesempatan untuk mem-branding produk mereka. Hal ini berpotensi mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi banyak karyawan dalam industri tersebut.
Kritik juga ditujukan pada kurangnya analisis dampak dari kebijakan ini. Gitadi menilai bahwa Kementerian Kesehatan tidak melakukan penilaian dampak regulasi yang komprehensif. Proses perumusan kebijakan ini juga dianggap tidak melibatkan partisipasi bermakna dari berbagai pemangku kepentingan, yang seharusnya diikutsertakan dalam diskusi untuk memberikan masukan serta kejelasan tentang dampak kebijakan tersebut.
Kebijakan kemasan rokok polos ini berisiko menambah jumlah pengangguran. Sektor tembakau yang terlibat langsung akan mengalami krisis akibat penurunan penjualan, yang berujung pada pengurangan tenaga kerja. “Aturan ini bukan hanya akan merugikan industri tembakau, tetapi juga semakin menjauhkan target pemerintah dalam menciptakan 19 juta lapangan kerja baru, sebuah janji yang disampaikan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran,” tambah Gitadi.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini dapat menjadi tantangan signifikan dalam mencapai tujuan kesehatan masyarakat. Walaupun diharapkan mengurangi angka perokok, kenyataannya konsumsi rokok dipastikan akan tetap tinggi. Dengan adanya kemasan yang seragam dan tidak bermerk, konsumen mungkin justru akan lebih mudah membeli produk ilegal yang tidak dikenai pajak. Hal ini nantinya bisa memicu penurunan tajam dalam penjualan rokok yang sah, yang biasanya sudah terdaftar dan membayar cukai.
Menghadapi berbagai penolakan dan tantangan, posisi pemerintahan baru pun menjadi tidak mudah. Kebijakan ini jelas memerlukan evaluasi lebih mendalam dan partisipasi dari berbagai pihak. Selain untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekonominya, partisipasi tersebut penting untuk menciptakan kebijakan yang benar-benar dapat diterima oleh masyarakat luas.
Industri tembakau bukanlah sekadar sektor ekonomi; ia juga menyentuh aspek sosial yang lebih luas. Dari segi penghidupan, penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan nasib para pekerja di sektor ini. Jika kebijakan tidak ditata dengan bijak, akan ada banyak yang kehilangan sumber mata pencaharian mereka.
Seharusnya, setiap kebijakan yang diambil pemerintah tidak hanya mempertimbangkan satu aspek, tetapi juga melihat dampak yang lebih luas terhadap masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan. Jika tidak, pemerintahan yang baru akan menghadapi tantangan berat dalam mereformasi kebijakan yang sekarang berpotensi tidak efektif. Inisiatif untuk mengubah kemasan rokok semestinya membawa manfaat yang lebih besar daripada sekadar tujuan kesehatan. Maka dari itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dalam merumuskan regulasi ini, guna memastikan semua pemangku kepentingan terlibat, dan hasilnya bisa diterima secara sosial.
Adalah penting untuk mempertimbangkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh masyarakat dan pelaku industri. Dengan komunikasi yang lebih terbuka dan dialog yang konstruktif, diharapkan kebijakan ini dapat menjadi jembatan antara kesehatan masyarakat dan kebutuhan industri, tanpa mengorbankan satu sama lain. Sebab, pada akhirnya, kebijakan yang baik adalah kebijakan yang seimbang, mempertimbangkan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang dari seluruh pihak yang terlibat.