Kehadiran penyelenggara layanan internet baru di Indonesia semakin marak, dengan lebih dari seribu entitas telah beroperasi dalam tiga tahun terakhir. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa jumlah penyelenggara internet bertambah lebih dari dua kali lipat, dengan sekitar 1.170 penyedia kini terdaftar. Namun, meskipun ada lonjakan tersebut, penetrasi internet di Tanah Air masih belum merata. Pemain baru dalam industri ini lebih suka berfokus pada daerah-daerah dengan potensi keuntungan yang jelas, cenderung mengabaikan daerah-daerah terpencil.
Ketua Umum APJII, Muhammad Arif, dalam acara Bisnis Indonesia Forum, mengungkapkan keprihatinan terhadap situasi ini. Ia menyoroti bahwa, meskipun terdapat banyak penyelenggara internet, kenyataannya, daerah-daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) masih mengalami kesulitan dalam mengakses layanan internet yang memadai. “Dengan banyaknya penyelenggara yang ada, kami bertanya-tanya kenapa internet belum merata,” tegasnya.
Fokus Pemain Baru di Daerah Menguntungkan
Arif menjelaskan bahwa banyak penyelenggara mencari lokasi yang dianggap menguntungkan, terutama di Pulau Jawa. Data menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen penyedia layanan internet berada di pulau ini. Dengan populasi besar di Pulau Jawa, tidak mengherankan jika lebih banyak penyelenggara memilih untuk beroperasi di wilayah ini. Sebaliknya, daerah lain, terutama di luar pulau utama, belum mendapatkan perhatian yang cukup dari penyedia layanan.
Permasalahan Infrastruktur
Salah satu isu utama yang dihadapi adalah sulitnya akses ke infrastruktur yang memadai. Menurut Arif, topologi Indonesia yang beragam, seperti pegunungan dan daerah terpencil, membuat pengembangan infrastruktur internet menjadi sangat menantang. Untuk mencapai daerah 3T, pembangunan tower untuk transmisi sinyal saja sudah merupakan tugas yang berat, apalagi instalasi jaringan fiber optic yang membutuhkan lebih banyak sumber daya.
Ketersediaan Backbone Internet yang Terbatas
Ketersediaan jaringan backbone juga menjadi faktor pembatas dalam pemerataan internet. Di banyak daerah terpencil, jaringan backbone yang seharusnya menjadi tulang punggung layanan internet masih sangat kurang, sehingga menghambat penyelenggara untuk menjangkau pengguna di lokasi tersebut. Arif menekankan bahwa tanpa backbone yang kuat, penyelenggara tidak akan mampu memberikan layanan yang baik dan stabil.
Ketidakcocokan Harga dan Kualitas Layanan
Lebih jauh, Arif menyebutkan bahwa perbedaan harga layanan internet di berbagai pulau juga menjadikan situasi ini semakin kompleks. Di Jakarta, misalnya, dengan Rp200.000, pengguna dapat menikmati layanan internet dengan bandwidth 30–50 GB. Sebaliknya, di pulau Kalimantan atau Sumatra, dengan harga yang sama, pengguna hanya mendapatkan 2–3 GB. Ketidakadilan harga ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi penyelenggara dalam memberikan layanan berkualitas di daerah yang lebih terpencil, di mana biaya operasional lebih tinggi.
Daya Beli Masyarakat yang Beragam
Menariknya, meskipun terdapat perbedaan besar dalam kualitas layanan yang ditawarkan, daya beli masyarakat di daerah terpencil tidak jauh berbeda dengan yang ada di perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa warga di daerah 3T memiliki potensi untuk membayar lebih untuk layanan internet bila kualitas yang ditawarkan memadai. Namun, dengan harga layanan yang tidak sempurna dan kualitas yang tidak sebanding, banyak penduduk yang tidak mendapatkan akses yang mereka butuhkan.
Dampak Persaingan dalam Industri Internet
Arif juga menyoroti bahwa permintaan yang tidak sebanding dengan penawaran di sektor ini menyebabkan persaingan harga yang melemahkan industri. Ketika banyak penyelenggara mengincar segmen pasar yang sama, terjadilah perang harga yang tidak sehat. Akibatnya, perusahaan-perusahaan yang lebih kecil berpotensi tertekan, dan hal ini dapat menghambat inovasi serta kualitas layanan di masa depan.
Kolaborasi antara Pemerintah dan Penyedia Layanan Internet
Menanggapi tantangan-tantangan ini, Arif mengingatkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan penyelenggara layanan internet. Ia mendorong adanya stimulus atau insentif yang bisa membantu penyelenggara untuk menembus pasar di daerah 3T. Inisiatif dari pemerintah untuk memperkuat infrastruktur, seperti proyek BTS, proyek satelit Satria, dan proyek Palapa Ring, diharapkan dapat mempercepat pemerataan internet di seluruh Indonesia.
Tantangan ke Depan
Dengan semakin banyaknya penyelenggara layanan internet, tantangan untuk memastikan akses internet yang merata di seluruh Indonesia tetap ada. Meski ada investasi yang besar dalam infrastruktur, masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Keberadaan pemain baru di pasar tidak menjamin pemerataan; butuh lebih dari sekadar kehadiran penyelenggara untuk menjadikan internet aksesil bagi semua.
Masih ada harapan bahwa melalui kolaborasi, inovasi, dan investasi tambahan, kondisi internet di Indonesia dapat ditingkatkan. Namun, permasalahan yang mendasar mengenai infrastruktur dan biaya masih memerlukan perhatian serius dari semua pihak yang terlibat. Dengan solusi yang tepat dan kolaborasi yang efektif, diharapkan akses internet di seluruh pelosok Indonesia dapat segera terwujud, sehingga setiap warga negara dapat menikmati manfaat penuh dari konektivitas digital.