Kelompok militan Islamic State (ISIS) telah mengklaim bertanggung jawab atas bom bunuh diri yang terjadi di Kabul, Afghanistan, pada hari Senin lalu, yang mengakibatkan kematian enam orang. Serangan tersebut dianggap sebagai balasan terhadap pengaktifan kembali fasilitas penahanan di pangkalan Bagram oleh otoritas Taliban. Ledakan yang mengguncang Kabul ini kembali menegaskan tingkat ketegangan dan kekerasan yang masih melanda Afghanistan setelah pengambilalihan Taliban pada tahun 2021.
Dalam pengumumannya, ISIS menyatakan bahwa serangan ini merupakan respons terhadap penahanan sejumlah Muslim di penjara Taliban, khususnya di Bagram, yang dikenal sebagai tempat dengan kondisi yang sangat kejam. “Serangan itu merupakan balasan terhadap ditahannya sejumlah Muslim di penjara Taliban, terutama setelah mereka dipindahkan ke penjara ‘Bagram’ yang terkenal kejam,” tulis ISIS dalam unggahan di saluran Telegram. Pernyataan ini merujuk pada sejarah gelap Bagram sebagai pusat penahanan yang telah disorot oleh banyak laporan internasional mengenai praktik penyiksaan.
Bagram, yang awalnya dibangun oleh Uni Soviet, telah menjadi landasan udara strategis yang digunakan oleh pasukan Amerika Serikat selama dua dekade terakhir. Sejak serangan teror 11 September 2001, Bagram berfungsi sebagai pangkalan utama bagi militer AS dan sesudahnya menjadi tempat penahanan bagi banyak tersangka teroris. Di masa lalu, fasilitas ini dikenal sebagai tempat di mana CIA mengelola “situs hitam” untuk memenjarakan dan menyiksa tahanan, praktik yang diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia oleh mantan Presiden Barack Obama.
Kepala Administrasi Penjara sementara di bawah pemerintahan Taliban, Mohammad Yusuf Mestari, mengonfirmasi bahwa penjara Bagram telah difungsikan kembali setelah tidak digunakan selama beberapa tahun. Dia menyebutkan bahwa beberapa tahanan telah dipindahkan ke fasilitas tersebut, tetapi tidak memberikan keterangan mengenai identitas atau jumlah pasti penghuninya.
Kepolisian Kabul melaporkan bahwa enam orang yang tewas dalam serangan tersebut adalah warga sipil. Namun, ISIS mengklaim bahwa total 45 orang, termasuk anggota Taliban, kehilangan nyawa dalam peristiwa tersebut. Serangan ini dianggap sebagai upaya ISIS untuk menunjukkan keberadaannya dan kekuatan militansi mereka di tengah hubungan yang semakin tegang dengan Taliban.
IS-Khorasan, cabang ISIS yang beroperasi di kawasan Asia Barat, terus meluncurkan berbagai operasi melawan Taliban, yang mereka anggap sebagai musuh utama. Meskipun Taliban mengklaim telah mengalahkan sebagian besar elemen ISIS, serangan-serangan tersebut memperlihatkan bahwa kelompok teroris ini masih memiliki kemampuan untuk melancarkan serangan signifikan di dalam negeri.
Kehadiran ISIS di Afghanistan menciptakan tantangan baru bagi Taliban, yang sejak pengambilan alih kekuasaan telah berusaha untuk menunjukkan bahwa mereka dapat menyediakan keamanan dan stabilitas. Faktanya, banyak yang skeptis terhadap kemampuan Taliban untuk sepenuhnya mengendalikan situasi keamanan, mengingat adanya rivalitas yang terus meningkat antara kelompok-kelompok ekstremis di wilayah tersebut.
Sejak pergeseran kekuasaan, Afghanistan telah menghadapi berbagai tantangan, mulai dari krisis kemanusiaan hingga masalah perekonomian yang terus memburuk. Kekhawatiran akan kekerasan lebih lanjut dan pelanggaran hak asasi manusia terus menghantui masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak yang mengalami dampak paling parah dari kebijakan baru yang diterapkan oleh Taliban.
Dengan meningkatnya serangan oleh ISIS, banyak warga sipil di Kabul dan daerah lain di Afghanistan merasa terjebak dalam situasi yang penuh ketidakpastian dan ketakutan. Keberlanjutan serangan ini tidak hanya mengancam nyawa, tetapi juga mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan Taliban untuk menjaga keamanan dan stabilitas.
ISIS telah diidentifikasi sebagai kelompok yang melakukan berbagai serangan mengerikan di luar negeri, termasuk penusukan masal di Jerman, serangan di gedung konser di Moskow, dan pengeboman di Iran. Pernyataan dan tindakan yang dilakukan oleh ISIS menunjukkan bahwa meskipun kelompok ini menghadapi penindasan di Afghanistan, mereka tetap mampu melakukan serangan berdarah.
Serangan di Kabul ini merupakan pengingat bahwa meskipun Taliban telah mengklaim keberhasilan dalam mengurangi jumlah serangan, cara mereka menangani gerakan ISIS menunjukkan bahwa tantangan dan ancaman dari kelompok ini masih harus dihadapi secara serius.
Dengan konteks tersebut, penting bagi masyarakat internasional untuk terus memantau situasi di Afghanistan dan mengevaluasi dampak dari kebangkitan kembali ISIS, serta upaya Taliban dalam menjaga kekuasaan dan keamanan di negara itu. Investasi dalam dukungan kemanusiaan dan pembangunan kembali Afghanistan juga menjadi penting untuk mencegah radikalisasi lebih lanjut di kalangan populasi yang putus asa.
Dengan meningkatnya jumlah serangan teror di Afghanistan, masa depan negara ini tetap tidak pasti, dan kekhawatiran akan lebih banyak lagi serangan seperti ini bisa terus menghantui warga sipil yang hanya ingin hidup dalam kedamaian.