Indonesia harus mewaspadai eskalasi konflik yang dapat berdampak signifikan terhadap kerja sama ekonomi dengan Tiongkok dan Taiwan, dalam konteks pelaksanaan amanah konstitusi untuk menciptakan ketertiban dunia. Pernyataan ini disampaikan oleh Lestari Moerdijat, legislator Dapil II Jawa Tengah, dalam diskusi daring yang diadakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12 pada Rabu, 2 Oktober 2024.
Menurut Lestari, konflik antara Tiongkok dan Taiwan dapat memiliki dampak berantai bagi perdagangan bilateral dengan Indonesia. "Kita harus ikut mencari jalan agar tidak terjadi konflik antara Tiongkok dan Taiwan, sebagai bagian langkah menjalankan amanah konstitusi kita untuk ikut menciptakan perdamaian dunia," begitu tuturnya. Diskusi tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pakar, termasuk Arifianto Sofiyanto dari Kementerian Luar Negeri, Dr. Connie Rahakundini Bakrie, dan Broto Wardoyo, Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia.
Sejarah konflik politik antara kedua negara tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Lestari, memberikan dampak signifikan pada hubungan perdagangan. Mengingat ketegangan yang juga terjadi di tempat lain, seperti antara Rusia dan Ukraina serta Israel dan Palestina, Lestari menegaskan pentingnya bagi Indonesia untuk menjaga stabilitas dalam hubungan internasional.
Arifianto Sofiyanto menjelaskan bahwa pengelolaan hubungan dengan Tiongkok dan Taiwan selama ini berada dalam kerangka kebijakan satu China. Meskipun Indonesia tidak menjalin hubungan diplomatik formal dengan Taiwan, keduanya beroperasi dalam konteks entitas ekonomi. Misalnya, perwakilan Indonesia di Taiwan adalah kantor dagang, dan begitu pula dengan kantor perwakilan Taiwan di Indonesia, yakni Taiwan Economic and Trade Office (TETO).
Meskipun secara resmi tidak ada hubungan politik dengan Taiwan, Arifianto menegaskan bahwa Indonesia memiliki sejumlah kepentingan penting di Taiwan, termasuk perlindungan terhadap WNI yang bekerja di sana. Saat ini, terdapat sekitar 355 ribu pekerja migran asal Indonesia di Taiwan, sehingga hubungan ini menjadi sangat penting bagi kepentingan nasional Indonesia.
Dinamika konflik di Selat Taiwan, lanjut Arifianto, memerlukan kepekaan dan sensitivitas dari Indonesia dan lembaga negara dalam bersikap. Connie Rahakundini Bakrie, seorang pengamat militer, menambahkan bahwa ketidakmampuan untuk menjalin hubungan yang kuat dengan suatu negara dapat membawa kerugian. "Berbagai macam kejadian luar biasa akan terjadi pada konflik kawasan Laut China Selatan," ujarnya.
Untuk itu, upaya mengantisipasi kondisi yang mungkin terjadi memerlukan kombinasi antara diplomasi dan kesiapan militer. Kesalahan dalam membaca arah konflik, menurut Connie, dapat membawa dampak luas di dalam negeri. Peran Indonesia di ASEAN pun dianggap sangat penting untuk menekan potensi konflik di Laut China Selatan, mengingat ketegangan yang meningkat di kawasan tersebut.
Broto Wardoyo menekankan pentingnya kerja sama Indonesia dan Taiwan, terutama dalam konteks perlindungan pekerja migran. Ia menjelaskan bahwa jumlah pekerja migran Indonesia di Taiwan jauh lebih besar dari data resmi. Ia mengingatkan bahwa ketegangan di kawasan semakin meningkat dengan Tiongkok yang tercatat melakukan pelanggaran wilayah udara Taiwan 20-30 kali per hari. Meski demikian, ia memprediksi bahwa Taiwan lebih memilih untuk mempertahankan status quo daripada terlibat dalam konflik terbuka dengan Tiongkok.
Muhammad Farhan, anggota Komisi I DPR RI, memperingatkan bahwa kebijakan satu China memiliki konsekuensi untuk bagaimana Indonesia memaknai hubungan dengan Taiwan. Untuk menjaga stabilitas, Farhan mendorong Indonesia untuk aktif membangun kerja sama dengan negara-negara di kawasan, termasuk Tiongkok dan Taiwan, sembari tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Dalam pandangan Saur Hutabarat, seorang wartawan senior, perang Rusia-Ukraina tak akan mendorong pecahnya konflik antara Tiongkok dan Taiwan. Ia berpendapat bahwa ketidakcukupan pangan dan energi Tiongkok saat ini dapat menjadi penghalang besar untuk terlibat dalam peperangan. “Kecukupan pangan Tiongkok saat ini sangat rendah untuk memenuhi kebutuhan pangan miliaran penduduknya bila perang terjadi,” tambah Saur.
Dengan demikian, bagi Indonesia, penting untuk menyelesaikan isu internal seperti pengangguran yang terus meningkat, ketimbang fokus pada pembangunan angkatan perang yang terlalu dini. Pendalaman peran diplomatik dan ekonomi dengan kedua negara tersebut diharapkan dapat membantu Indonesia menjaga kestabilan serta menavigasi potensi risiko yang ditimbulkan dari ketegangan yang ada.