Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah strategis dalam menawarkan hilirisasi batu bara kepada Tiongkok, dengan fokus pada pengembangan produk turunan seperti briket batu bara, pembuatan kokas, dan batu bara cair. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sejalan dengan ratifikasi Perjanjian Paris, serta sebagai respons terhadap kebutuhan global akan energi yang lebih berkelanjutan.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bambang Suswantono, menyatakan bahwa penawaran ini bertujuan untuk memacu dekarbonisasi melalui peningkatan kualitas pengolahan batu bara yang ada. "Salah satu kebijakan dalam pengelolaan batu bara adalah melakukan pengurangan penggunaan batu bara bersamaan dengan pengakhiran dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara," ungkapnya. Dengan mendorong pengolahan batu bara menjadi bentuk alternatif, pemerintah tidak hanya berupaya mengurangi dampak lingkungan negatif tetapi juga menjawab tantangan kebutuhan energi di sektor industri.
Batu bara sebagai sumber daya alam di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar, dengan total sumber daya mencapai 97,29 miliar ton dan cadangan sebesar 31,71 miliar ton. Sebagian besar sumber daya dan cadangan batu bara ini terkonsentrasi di beberapa provinsi, termasuk Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Distribusi ini menunjukkan bahwa terdapat banyak peluang untuk pengembangan infrastruktur hilirisasi yang lebih terpusat di lokasi-lokasi tersebut.
Dari enam produk pengembangan yang sedang ditekankan, peningkatan kualitas batu bara, briket batu bara, dan kokas menjadi fokus utama. Selain itu, batu bara cair dan gasifikasi batu bara—termasuk gasifikasi bawah tanah—juga menjadi perhatian dalam program pengembangan ini. Produk-produk ini tidak hanya berfungsi sebagai bahan baku tetapi juga memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan energi dalam industri, termasuk sektor pupuk.
Sebagai bagian dari upaya untuk mempercepat hilirisasi, pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan beberapa insentif fiskal, di antaranya adalah keringanan pajak. Kebijakan ini diharapkan dapat menarik lebih banyak investasi guna pengembangan hilirisasi batu bara. Selain itu, pemerintah mewajibkan perpanjangan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B) menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Hal ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memperlancar proses izin.
Bambang juga mengungkapkan bahwa saat ini telah ada enam IUPK yang sedang merencanakan pengembangan produk turunan setelah melakukan kajian keekonomian dan studi kelayakan. "Kami optimis bahwa pada tahun 2030, proyek-proyek ini sudah bisa mulai beroperasi," tuturnya. Dengan harapan tersebut, Indonesia tidak hanya ingin memenuhi permintaan dalam negeri tetapi juga berperan aktif dalam pasar internasional, terutama ke Tiongkok yang merupakan salah satu negara dengan permintaan batu bara yang terus meningkat.
Wajar jika kebijakan hilirisasi ini juga dikaitkan dengan perubahan iklim dan target-target lingkungan yang telah ditetapkan. Sektor energi merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca, sehingga pengurangan penggunaan batu bara secara bertahap menjadi sangat penting. Dalam konteks ini, hilirisasi batu bara bisa dianggap sebagai solusi untuk mengurangi jejak karbon sambil tetap memanfaatkan sumber daya alam yang ada.
Strategi pemerintah dalam menawarkan hilirisasi batu bara ke Tiongkok dapat dilihat sebagai langkah proaktif untuk mengantisipasi perubahan dinamika pasar energi global. Dengan menggandeng Tiongkok, Indonesia mengharapkan penciptaan peluang kerja baru dan transfer teknologi yang dapat meningkatkan kapasitas industri dalam negeri. Mengingat Tiongkok sebagai salah satu konsumen terbesar batu bara, kerja sama ini diharapkan tidak hanya akan memberikan manfaat ekonomi tetapi juga berkontribusi pada tujuan lingkungan hidup.
Meskipun tantangan dalam hal teknologi dan investasi tetap ada, melalui program hilirisasi ini, pemerintah Indonesia menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Langkah ini seia-sekata dengan tren global menuju transisi energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, mengingat banyak negara di dunia juga tengah berusaha menurunkan emisi karbon untuk memenuhi komitmen internasional mereka.
Penting untuk mengingat bahwa keberhasilan hilirisasi tidak hanya bergantung pada kebijakan pemerintah, melainkan juga memerlukan kolaborasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta, akademisi, dan masyarakat. Hal ini sangat diperlukan agar tujuan mengurangi ketergantungan pada batu bara dan memperbaiki perekonomian dapat terwujud secara harmonis.
Dengan semua perspektif ini, Indonesia berusaha untuk tidak hanya menjadi negara penghasil batu bara, tetapi juga sebagai negara yang berperan aktif dalam pengembangan energi berkelanjutan di tingkat global. Upaya hilirisasi batu bara yang ditawarkan kepada Tiongkok bukan hanya sekadar bisnis, tetapi juga langkah maju dalam komitmen Indonesia untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dengan lebih efektif dan inovatif.