Pada Rabu, 2 Oktober 2024, delapan tentara Israel tewas dalam pertempuran dengan Hizbullah di Lebanon selatan, mengkonfirmasi pernyataan dari militer Israel. Di antara yang tewas, ada tiga komandan. Selain itu, sejumlah tujuh lainnya dilaporkan mengalami luka parah. Kejadian ini terjadi saat Hizbullah berhasil memukul mundur upaya penyusupan oleh pasukan Israel di kota perbatasan Maroun al-Ras dan sekitarnya.
Konflik berawal ketika pasukan Israel mencoba untuk menyusup ke wilayah Lebanon selatan. Hizbullah melancarkan serangan dengan menghancurkan tiga tank Merkava Israel menggunakan peluru kendali, saat pasukan Israel mendekati Maroun al-Ras. Dalam laporan terpisah, beberapa pertempuran juga terjadi di Odaissah, di mana pasukan Hizbullah melawan serangan tentara infanteri Israel, menciptakan situasi yang mendorong tentara Israel untuk mundur.
Berdasarkan laporan Sky News Arabia, sumber dari pihak militer Israel menyebutkan bahwa angka korban bisa mencapai 14 tentara Israel dalam bentrokan tersebut. Militer Lebanon juga menegaskan bahwa Israel melanggar garis demarkasi yang dikenal sebagai Garis Biru dengan bergerak sekitar 400 meter ke wilayah Lebanon, sebelum mundur kembali.
Hizbullah mengklaim saat serangan terjadi, mereka melakukan serangkaian serangan terhadap posisi-posisi militer Israel di sepanjang perbatasan, menggunakan roket dan tembakan artileri, yang mengakibatkan "serangan langsung" ke posisi mereka. Kepala media Hizbullah, Mohammad Afif, menyatakan keyakinan kelompok tersebut bahwa mereka memiliki cukup amunisi dan pejuang untuk menghadapi pasukan Israel.
Helikopter penyelamat terlihat mengangkut tentara Israel yang terluka dari perbatasan menuju rumah sakit di Haifa, namun militer Israel belum memberikan komentar langsung terkait insiden ini. Menurut jurnalis Israel, Meron Rapoport, meski belum bisa dipastikan jika banyaknya korban itu akan mempengaruhi keputusan invasi militer, kerugian yang terus meningkat dapat berdampak pada strategi militer Israel dan keputusan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Rapoport mencatat dorongan warga Israel yang meyakini bahwa Hizbullah dalam keadaan lemah, dan mereka optimis terhadap hasil invasi.
Bentrokan terjadi di tengah operasi militer Israel yang lebih besar, setelah Iran melancarkan serangan rudal balistik ke Israel. Israel telah menyatakan bahwa operasi mereka bertujuan untuk menghancurkan infrastruktur Hizbullah di sepanjang perbatasan. Dalam beberapa jam sebelumnya, Hizbullah berhasil menargetkan unit Israel di dekat desa Yaroun, yang memperlihatkan efektivitas taktik yang digunakan oleh kelompok tersebut.
Sejak mengumumkan rencana invasi darat ke Lebanon, Israel menyebut operasi ini sebagai misi komando yang terbatas. Namun, dengan mobilisasi pasukan infanteri dan unit lapis baja, termasuk Brigade Golani dan Brigade Lapis Baja ke-188, tampaknya operasi ini melampaui rencana awal. Menurut pengamatan, militer Israel sedang berusaha untuk membongkar terowongan yang digunakan oleh Hizbullah dan mengamankan posisi strategis di wilayah tersebut.
Sebagai langkah preventif, militer Israel telah memerintahkan penduduk dari 24 kota di Lebanon selatan untuk mengungsi, mengingat meningkatnya kemungkinan serangan lanjutan. Pengungsi yang dihasilkan oleh konflik ini sudah mencapai 1,2 juta orang di seluruh Lebanon. Israel juga terus mengintensifkan serangan udara di daerah-daerah di Lebanon selatan dan pinggiran Beirut.
Melihat eskalasi dalam konflik ini, perspektif yang lebih luas mengenai dampak yang ditimbulkan harus dipertimbangkan. Sejarah dua invasi sebelumnya ke Lebanon, pada tahun 1982 dan 2006, masih membayangi banyak pihak, dan pernyataan Rapoport menunjukkan bahwa kehilangan tentara dalam jumlah yang begitu signifikan dapat membangkitkan kekhawatiran di kalangan rakyat Israel mengenai masa depan operasi militer ini.
Operasi ini menjadi sorotan tidak hanya dari segi militer, tetapi juga dari aspek kemanusiaan, mengingat banyaknya pengungsi yang terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat serangan yang sedang berlangsung. Dengan kondisi yang semakin memanas, pengamat internasional terus memperhatikan bagaimana situasi ini akan berkembang dan dampaknya terhadap stabilitas di kawasan Timur Tengah.
Dengan latar belakang konflik yang kompleks dan berkelanjutan, yang melibatkan kepentingan regional dan internasional, situasi di Lebanon selatan menjadi semakin mendesak. Baik Hizbullah maupun Israel nampaknya sudah bersiap untuk melanjutkan taktik militer mereka, yang berpotensi menciptakan lebih banyak pasukan terluka dan korban jiwa. Dunia kini menantikan langkah selanjutnya dalam konflik ini, yang tampaknya akan berlanjut dengan ketegangan dan pertempuran yang semakin intens.