Harga minyak dunia kembali mengalami kenaikan yang signifikan pada perdagangan Selasa waktu setempat (Rabu WIB), dengan harga penutupan minyak mentah Brent mencapai USD76,04 per barel. Meningkatnya harga ini terjadi dalam konteks para pedagang yang mulai meremehkan harapan terhadap gencatan senjata di Timur Tengah, serta berfokus pada peningkatan permintaan dari negara Tiongkok.
Menurut data yang dirilis oleh Yahoo Finance, kenaikan harga ini merupakan yang kedua kalinya berturut-turut setelah periode sebelumnya. Dalam konteks ini, Goldman Sachs telah merilis proyeksi yang menunjukkan bahwa harga minyak rata-rata akan mencapai USD76 per barel pada tahun 2025. Proyeksi ini didasarkan pada surplus minyak mentah yang moderat serta kapasitas cadangan yang tersedia di antara para produsen utama, sementara ketakutan akan gangguan pasokan dari Iran mulai mereda.
Penting untuk diperhatikan bahwa Goldman Sachs memandang risiko jangka menengah terhadap harga minyak dunia tetap berada dalam kisaran USD70 hingga USD85 per barel. Mereka menjelaskan, "Kami melihat sebagai dua sisi tetapi condong cukup ke sisi negatif secara bersih karena risiko harga negatif dari kapasitas cadangan yang tinggi dan kemungkinan tarif perdagangan yang lebih luas lebih besar daripada harga positif." Penilaian ini mencerminkan pandangan yang hati-hati mengenai masa depan pasar minyak.
Goldman Sachs juga menyampaikan bahwa harga minyak mungkin mengalami lonjakan menjelang akhir tahun. Mereka mencatat bahwa spread waktu Brent saat ini agak meremehkan ketatnya harga fisik, yang berpotensi berkontribusi pada pergerakan harga yang lebih tinggi. Meskipun ada kapasitas cadangan yang besar di tingkat global dan produksi minyak dari Iran belum sepenuhnya terganggu, analis Goldman tidak menganggap surplus pasokan tahun depan sebagai kesepakatan yang pasti.
Sebagai tambahan, premi risiko geopolitik dalam situasi ini tergolong terbatas. Walaupun ketegangan antara Israel dan Iran terus berlangsung, situasi ini belum berdampak pada pasokan minyak dari kawasan tersebut. Selain itu, kapasitas cadangan tinggi yang tersedia di antara anggota OPEC+ menjadi faktor penyeimbang yang penting. OPEC+ adalah kelompok yang mencakup Organisasi Negara Pengekspor Minyak dan sekutunya, yang berupaya mengelola produksi guna menjaga stabilitas harga.
Namun, risiko terhadap pasokan minyak tetap ada, terutama selama konflik di Timur Tengah belum menemukan penyelesaian. Potensi gangguan yang muncul akibat ketegangan ini dapat memperketat neraca minyak, sehingga memengaruhi harga minyak lebih lanjut. Sebagai informasi tambahan, dampak dari keputusan strategis yang diambil oleh OPEC+, seperti pengurangan produksi atau kebijakan baru, juga akan memiliki pengaruh besar pada harga minyak global.
Dari sisi permintaan, aktivitas industri di negara-negara besar seperti Tiongkok menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Permintaan dari Tiongkok, sebagai salah satu konsumen minyak terbesar di dunia, dapat memberi dampak positif terhadap pasar. Jika tren ini berlanjut, hal itu dapat pula mendorong harga minyak lebih tinggi lagi di masa mendatang.
Secara keseluruhan, lonjakan harga minyak dunia menjadi perhatian para pelaku pasar dan analis, dengan adanya berbagai faktor yang mempengaruhi baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Ketegangan geopolitik, kebijakan produksi OPEC+, serta pemulihan ekonomi global menjadi variabel-variabel kunci yang akan terus dipantau.
Dalam hal ini, penting bagi investor dan pelaku pasar untuk tetap waspada dan memperhatikan peristiwa terkini yang dapat berpotensi berdampak pada pasar energi global. Melihat semua faktor yang ada, geliat harga minyak menjelang akhir tahun 2024 akan menjadi perhatian utama bagi banyak pihak.